WACANA, TAJUK RENCANA, DAN KOPI

http://bit.ly/maribijakdancerdas
Salah satu sajian yang jarang sekali saya lewatkan di surat kabar edisi cetak adalah bagian Wacana dan Tajuk Rencana. Meskipun jarang tepat waktu dalam melahap isinya, kadang terbitan Senin baru bisa saya baca Selasa atau bahkan Rabu, kedua rubrik tersebut masih menjadi bagian favorit saya.



Itu diawali dari belasan tahun silam saat saya membaca sebuah ulasan, yang sayangnya saya tak ingat lagi di mana dan siapa yang menulisnya, bahwa kolom Wacana (atau nama lainnya) di surat kabar pasti ditulis oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Baik  praktisi atau akademisi. Maka, membaca tulisan-tulisan tersebut berarti membaca pendapat, ide, ulasan, dan sejenisnya langsung dari sumbernya. Dan saya mengamini hal tersebut.

Kebetulan saya tipe pembaca yang sejak dulu bersahabat dengan gaya ulasan yang panjang dan lebar, termasuk jenis novel yang lumayan tebal seperti “Ketika Cinta Bertasbih”-nya Habiburrahman El Shirazy atau Kang Abik yang 483 halaman, “Bidadari Untuk Dewa”-nya Asma Nadia yang mengangkat kisah nyata Kang Dewa Eka Prayoga yang cukup montok dengan 528 halaman, dan sebagainya.

Sedangkan Tajuk Rencana, Editorial, atau nama lainnya, masih menurut tulisan yang dulu saya baca, laksana isi hati dari Redaktur atau pemegang kebijakan level atas di harian tersebut.

Sehingga saat kemudian era online mewabah, di mana sajian berita nyaris melimpah termasuk berita bermodal “katanya” (kata orang Jawa: “Jare” alias jarang benere atau jarang benarnya) yang kerapkali turut disebarluaskan oleh para penggemarnya di media sosial tanpa pedoman bijak “saring sebelum sharing”, saya asyik saja menyantap lahap tulisan-tulisan di media cetak tersebut.

Saya, sebagai pengguna media online, masih percaya bahwa asyik sekaligus nikmatnya kebiasaan membaca produk-produk versi cetak belum bisa tergeser apalagi tergantikan oleh saudara sekaligus kompetitornya yang versi online atau noncetak. Tapi apapun itu, cetak maupun noncetak, menurut saya, tak perlu diperdebatkan panjang lebar selagi niatnya mulia: belajar. Apalagi keduanya juga bisa bersinergi dan akur.
 

Masing-masing memang memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Mirip seperti memilih beragam kopi. Mau yang mana, terserah, sesuai selera: kopi hitam, espresso, macchiato, piccolo, cappucino, atau latte.

Sekali waktu, cobalah kopi tanpa gula agar engkau bisa bersyukur bahwa ada hal yang lebih pahit dari kisahmu.

Eh, apa hubungannya, ya? He...he....

Salam Literasi!

http://bit.ly/maribijakdancerdas

#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home