“ALLAH MAHA KAYA.....”

Kamis sore, 4 Juli 2019, sekitar pukul 16.00 WIB, sebuah sepeda motor memasuki area Masjid Baitul Abror. Dari propertinya, saya hafal pengendaranya: Pak Ro’i, pedagang Pentol Kuah, anggota Paguyuban Pedagang Keliling (PPK) Paninggaran. Sesekali juga mangkal di SDN 01 Tenogo.

Karena kebetulan saya sedang berkegiatan di teras rumah, saya menyapanya sebentar.


Setelah selesai Sholat Ashar, saya pun menemaninya mengobrol di teras masjid.

Nama lengkapnya Faro’i. Sesuai tradisi di tempat saya, lebih akrab dipanggil Lik Ro’i. Berusia 58 tahun dan berdomisili di Dukuh Pejarakan Desa Domiyang yang berjarak sekitar km dari ibukota kecamatan.

Seingat saya, waktu saya bersekolah di MTs Salafiyah Paninggaran, Lik Ro’i juga sudah berjualan. Kalau tidak salah (berarti benar, ya?) es potong.



“Jualannya ‘kan kadang berganti-ganti. Darimana belajar cara pembuatannya?” tanya saya.

“Belajar sendiri, Mas. Modal nekad. Kalau anak sekarang ‘kan gampang. Tinggal buka HP, ilmunya semua ada. Lha saya? Saya ini orang bodoh. Tapi saya harus menghidupi anak dan istri. Jadi saya ya harus bisa” jawabnya.

“Apakah mesti laris?” tanya saya lagi.

:He...he.....Namanya orang jualan, Mas. Ya pasti ada lakunya, ada tidaknya. Ada ramainya, ada sepinya. Tapi Allah itu Maha Kaya. Tugas kita hanyalah berihtiar. Pasti DIA akan memberi kita rizki. Pasti” jelas bapak dari enam orang anak tersebut.

Saya tersenyum. Keyakinan kepada Allah. Itu modal utamanya.

“Tidak takut saingan? Pedagang keliling tidak sedikit jumlahnya, ‘kan?”

“He...he..... Lha itu di pasar pedagang baju berbaris. Pedagang buah dan yang lainnya juga sama. Kembali kepada rizki, Mas. Semua sudah diatur, ada jatahnya masing-masing. Tugas kita menjemputnya melalui ihtiar. Kalau tentang saingan, karena saya bukan satu-satunya yang jualan Pentol Kuah, sebisa mungkin saya menghindari rute yang sama dengan pedagang lain. Bukan takut saingan, tapi lebih untuk memberi peluang yang sama. Makanya akhir-akhir ini saya jarang mampir ke SDN 01 Tenogo. Karena di sana, sudah ada teman saya yang juga jualan barang yang sama”.

Lagi-lagi saya tersenyum. Sederhana sekali pola pikirnya. Selain tentu karena kemurahan Allah, saya yakin, itulah salah satu penyebab Beliau masih bertahan meramaikan khasanah dunia perdagangan keliling.

“Oh ya: setahu saya, njenengan (Bahasa Jawa, artinya: Anda) seringkali mampir ke masjid ini. Padahal untuk mampir dan sholat ‘kan mesti menyempatkan waktu.

Beliau tak langsung menjawab. Setelah beberapa saat......”Jualan itu ihtiar. Apa iya harus melupakan kewajiban? Kerja keras banting tulang untuk urusan dunia. Sesungguhnya hanya mengumpulkan uang untuk membeli beberapa meter kain kafan. Rata-rata saya keluar rumah sekitar jam 6.30 pagi. Berkendara ke sana ke mari. Sehat. Kuat. Masa’ untuk sholat sebentar ndak bisa, ndak sempat?”

Saya tak lagi tersenyum tapi tertawa. Seperti menertawakan diri sendiri.

“Dan tentang sholat itu apakah Njenengan juga ajarkan ke anak-anak?” tanya saya penasaran.

“Oh iya. Itu pasti. Kalau saya menyuruh mereka melakukan suatu pekerjaan, saya cukup sekali menyampaikannya. Tapi kalau menyuruh sholat, saya bisa sangat-sangat bawel. Bila perlu saya pukul kalau tak segera melakukannya”.

Ingatan saya langsung tertuju kepada seseorang yang melakukan hal yang sama waktu saya kecil: Bapak. Untuk urusan sholat, Beliau sama sekali tak mengenal kompromi. Dulu banget, saat kelas-kelas awal SD, pernah suatu ketika saya ketahuan berbohong dengan mengatakan sudah sholat di kamar tapi ternyata rambut saya masih kering alias saya mengaku berwudhu tapi ternyata lupa tidak membasuh rambut, telinga saya dijewer sekuat tenaga sampai luar biasa sakitnya. Hebatnya lagi: saya tak boleh menangis meski air mata sudah menggunung dan nyaris jebol. Barakallah, Bapak. Semoga Allah limpahkan keberkahan, kesehatan dan umur yang panjang untukmu. Aaamiiin.

Hampir pukul 16.45 WIB saat Lik Ro’i berpamitan untuk mampir ke pasar dan berbelanja untuk persiapan esok hari. Saat saya minta persetujuan untuk menuliskan obrolan kami di blog dan media sosial saya, beliau sempat bertanya singkat “Untuk apa?” yang kemudian saya jawab kurang lebih “Untuk menebarkan dan menyebarkan semangat kebaikan, semangat pantang menyerah, semangat yakin kepada Allah, dan semangat istiqomah”

“Monggo” kata Lik Ro’i akhirnya, untuk kemudian bergegas pergi. Meninggalkan saya di depan masjid, dengan segumpal semangat baru untuk banyak ilmu kehidupan di senja menjelang Magrib itu.

4 Juli 2019, 22.19 WIB
(Saat finalisasi tulisan sembari mendengarkan lagu “Titip Rindu Buat Ayah”-nya Ebiet G Ade.)

Disimpan di blog:

#TebarSemangatKebaikan
#JanganTundaBerbuatBaik
#OptimisLebihManis
#BersyukurTambahMakmur

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home