SEPATU 350

Foto: http://publicdomainvectors.org/
Sejak kuliah di STAIN Pekalongan, kisaran tahun 2012-an, saya punya sepatu hitam. Nyaman di kaki, nyaman di hati (he....he.... seperti iklan saja ya?). Kelebihan sepatu ini dibandingkan sepatu-sepatu saya yang lain: anti air alias tidak menyerap air. Ya iya lah, karena terbuat dari karet. Karet? Iya, setidaknya menurut penjualnya begitu. Dan sepertinya memang begitu. Kelebihan lainnya: sangat ringan.

Karena tidak menyerap air itulah, sepatu itu paling sering saya pakai untuk kuliah. Menempuh jarak PP alias pulang pergi sekitar 104 km dari Paninggaran ke Kota Pekalongan, dengan potensi hujan setiap waktu, sepatu itu paling bersahabat saat kehujanan. Sampai rumah, cukup letakkan dengan posisi terbalik, esok paginya dijamin sudah kering dan siap dipakai lagi. Namanya juga sepatu karet, 'kan?

Saya menyebutnya Sepatu 350.

350? Maksudnya 350 ribu? 
Betul, 350 ribu. 
Untuk pegawai negeri golongan 2 apa sepatu itu tidak kemahalan? 
Tentu tidak, karena dengan harga 350 ribu, saya bisa membeli sepatu itu sebanyak 10 pasang.
10 pasang? Berarti harga sepasang = 35 ribu? 

Yup, betul sekali.
Sepatu itu memang saya beli seharga 35 ribu, di sebuah toko tidak jauh dari rumah saya. Dari 2012 sampai sekarang, seingat saya, saya sudah ganti 3 kali. Saat ini, sepasang sepatu 350 itu masih saya miliki. Masih bagus. Hanya belakangnya saja yang mulai sobek. Juga bagian bawahnya mulai tipis. Dan samping kiri kanannya juga sudah sangat lusuh.

Pertimbangan Utama

Apa pertimbangan utama saat kita membeli sepatu? Harga, model, nyaman, atau apa? Atau keempatnya, termasuk "apa" tadi? Atau tidak keempatnya, termasuk "apa" tadi?

Untuk saya, harga adalah ukuran nomor wahid. Baru model. Selanjutnya nyaman. Seterusnya warna. Dan....sudah. Karena itu, saat melihat sepatu di toko, baik toko modern maupun belum modern, hal pertama yang saya lirik adalah harganya. Bagi saya, saat saya nyaman dengan sepatu itu, masalah selesai. Titik.

Karena itu, saya pede abissss kala pada suatu kesempatan, saya mengikuti sebuah acara di tingkat provinsi, sepatu itu menemani saya selama 3 hari. Dari awal acara, sampai presentasi, sampai makan siang, saya merasa sejajar dengan peserta yang lain, meski sebagian dari mereka mengendarai mobil sedangkan saya naik motor edisi 2004.

Sampai waktunya Salat Dzuhur di masjid yang berada di komplek kegiatan......

Deretan sepatu berjejer di luar batas suci masjid. Termasuk sepatu saya. Ternyata, kontras sekali penampilan sepatu 350 saya itu dibandingkan dengan sepatu-sepatu lainnya. Ternyata, mudah sekali melihat perbedaan sepatu itu dengan sepatu lainnya. Kalau di dalam ruang kegiatan, saya bisa sejajar, atau tepatnya mensejajarkan diri, dengan peserta lainnya: sama-sama utusan kabupaten/kota, sama-sama membawa laptop, sama-sama presentasi, dan sama-sama membawa surat tugas dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi di teras masjid, dimana di dalamnya kedudukan manusia sama di depan Sang Pencipta karena sama-sama merendahkan kepala setinggi kaki dalam sujud, sepatu saya justru menjadi "pembeda".

Faktor X

1-4 Desember 2013, tergabung di Tim KKG PAI Kabupaten Pekalongan, saya menjadi salah satu narasumber Sosialisasi Kurikulum 2013 PAI SD tingkat kabupaten yang berlangsung di salah satu hotel terkemuka (album fotonya bisa dilihat DI SINI), yang diselenggarakan oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pekalongan.

Kali ini, saya tak lagi mengenakan sepatu 350. Saya pakai yang satunya lagi, yang harganya sedikit di atasnya.

Hari terakhir, setelah penutupan, saya menandatangani daftar penerimaan honor. Dengan alokasi waktu 10 jam, saya menerima amplop tebal, yang bagi saya, subhanallah, sangat banyak. Pertama kalinya, sejak saya menjadi pegawai negeri tahun 2008, baru kali pertama saya menerima honor yang jumlahnya melebihi gaji bulanan. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya terpatri pada sepatu 350.

Sesampainya di rumah, saya meminta istri membuka amplop yang masih bersegel itu. Melihat tulisan yang tertera, istri saya sempat bertanya: "Abi, benarkah isinya seperti yang tertulis? Banyak sekali", Saya menjawab singkat: kita buka sama-sama.

Ya, hari itu kami menerima anugerah yang luar biasa.

Akhirnya, saya sampaikan apa yang sudah saya pikirkan: "Umi sayang, Abi ingin uang ini dibagi menjadi 3. Yang sepertiga, simpanlah untuk tabungan. Yang sepertiganya lagi, penuhi kewajiban-kewajiban kita kepada orang lain. Juga hak-hak orang lain atas uang ini. Yang sepertiga terakhir: tolong alokasikan untuk belanja sepatu dan baju Abi untuk acara-acara sejenis".

Sesaat, istri saya memandang saya. Seakan heran bercampur tak percaya. Ya, saya bukan tipe orang yang suka berbelanja untuk kebutuhan sekunder seperti itu.

Seakan mengetahui arti tatapan itu, saya berkata lagi: "Abi masih memegang prinsip yang selama ini Abi pegang. Tapi untuk kali ini, sepertinya, sudah saatnya Abi membeli sepatu baru. Diantara ratusan guru PAI, yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. lewat cara-Nya, Allah memberi Abi kesempatan menjadi narasumber acara ini. Salah satunya, untuk menerima uang ini. Allah sepertinya tahu, sudah saatnya Abi mengganti sepatu yang Abi kenakan untuk acara-acara seperti itu. Bukan untuk menunjukkan sebuah harga diri karena harga diri tak terbeli oleh sepatu. Bukan untuk menunjukkan sebuah status sosial karena bila itu terjadi, ia akan mudah tergadaikan. Tapi untuk menghormati tuan rumah. Untuk menghargai orang atau pihak yang mengundang. Untuk memberikan penghargaan yang sama seperti yang mereka berikan, meskipun tak selamanya dalam bentuk lembaran uang".

Dan akhirnya, itulah yang terjadi. Saya pun membeli sepasang sepatu baru, yang saya pilih bersama istri di sebuah toko terkemuka di Kota Pekalongan. Belum sampai harga 1 juta, seperti yang dimiliki teman-teman saya. Tapi bagi saya, itulah sepatu termahal yang pernah saya beli. Dan sepatu itu pulalah yang saya beli pertama kali bukan dengan pertimbangan harga, model, ataupun nyaman. Tapi dengan faktor "apa" seperti yang saya tanyakan di atas. Saya menyebutnya: faktor x.

Dan alhamdulillah, sepatu itu benar-benar menjalankan tugasnya. Sepanjang 2014, Allah memberikan saya banyak kesempatan untuk belajar menghargai orang lain, disamping memberi rizqi lewat cara-Nya. Mulai dari mengisi KKG, 4 kali diundang Kanwil Kemenag DKI Jakarta sebagai bagian dari Tim IT DPP AGPAII dimana tiga kali diantaranya saya berkesempatan menikmati kesegaran udara di kawasan Puncak Bogor, dan terakhir, tanggal 13-15 Maret 2015 silam, saya diundang DPP AGPAII sebagai nara sumber Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) III di Bandar Lampung, khusus untuk menyampaikan materi Pendataan Online Guru PAI Tahun 2015 sekaligus mengawal launching-nya.

Tak melulu lembaran uang yang saya terima, karena AGPAII adalah organisasi yang membesarkan saya di ajang nasional. Tetapi, sekali lagi, untuk ukuran orang daerah, yang berdomisili di ujung Selatan kawasan pegunungan Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah, dan untuk seorang guru PAI yang tak pernah belajar TIK formal, kesempatan demi kesempatan yang saya terima, sungguh benar-benar sebuah anugerah tak terkira. Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Sang Maha Pemberi Rizqi.

Dan sepatu 350 itu pun masih saya jaga sampai sekarang. Sesekali saya pakai untuk jalan-jalan ke Pekalongan, ketika cuaca terlihat mendung.

Salam Kreatif!

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home