Guru Memukul, Murid Meludah

Ada murid datang telambat, ada guru memberi sanksi, si murid membangkang, sang guru berang, murid lalu meludah dan guru memukul. Kira-kira semacam itulah adegan yang berlangsung di sebuah sekolah di Purbalingga, Jawa Tengah. Adegan itu berakhir dengan demo ratusan siswa untuk si guru, permintaan untuk mundur dan ucapan maaf.

Detail adegannya sendiri masih sulit dilacak karena: "Saya tidak memukul cuma meletakkan kepalan di tubuh dan menekannya," kata si guru. "Anak saya meludah ke samping, ke tanah tidak mengenai wajah dan tubuh guru," kata orang tua murid. Tapi apapun faktanya, memukul atau cuma menekan, kepalan tangan guru itu tetaplah ada. Apapun dalihnya, meludah ke wajah atau ke tanah, ludah itu telah pula melompat dari tempatnya.

Guru dengan kepalan tangan, dengan modus kekerasan, memang cara yang tak lagi cocok untuk zaman. Tapi murid meludah, ke wajah atau ke tanah, adalah pembangkangan yang mencengangkan. Karena baik wajah atau tanah, ludah itu tetaplah sampai ke hati, ke harga diri. Bukan cuma hati seorang guru di Purbalingga, tapi hati dunia pendidikan Indonesia.

Tulisan ini tak ingin masuk secara rinci dan memberi justifikasi pada kasus pemukulan dan peludahan yang sangat kasuistik itu. Tapi mari membayangkan tentang suatu keadaan ketika guru tak lagi memiliki kedaulatan. Di sekolah ia cuma akan menjadi orang upahan yang bekerja sebatas menyampaikan bahan pelajaran. Ia bukan lagi pengajar tapi cuma sebatas tukang. Predikat pengajar itu sungguh beban berat karena ia tak boleh lagi mengajar anak-anak yang kurangajar.

Kurangajar ini sungguh keadaan yang tidak sederhana karena ia tak cuma menggambarkan kekurangan ajar di otak tapi juga di hati. Padahal sejak guru cuma sebagai orang upahan, ia tak bertanggungjawab lagi pada mutu hati murid-muridnya. Sebabnya jelas, kualitas hati yang akan tercermin dalam mutu akhlak dan kelakuan, sama sekali tidak terdapat dalam buku pelajaran.

Maka jika guru masih dibebani tanggungjawab untuk memperbaiki otak dan hati, semua pihak harus bersepakat bahwa guru harus dikembalikan pada kelasnya sebagai pengajar yang berhak mengajar anak-anak kekurangan ajar. Semua pihak juga harus bersepakat bahwa yang dimaksud pelajaran bukan cuma soal buku, tapi juga soal kelakukan.

Jika kesepakatan ini disetujui, proses belajar-mengajar baru bisa dimulai. Proses itu harus didahului oleh penyerahan kedaulatan dari rumah ke sekolah, dari orang tua ke guru anak-anaknya. Kedaulatan itulah yang membuat guru percaya bahwa murid-murid itu bulan cuma seorang siswa tapi juga anak-anaknya. Jika ia pintar guru ikut bahagia, jika salah guru boleh menegurnya, jika nakal guru boleh menghukumnya.

Kedaulatan ini harus tidak saling diciderai. Bentuk hukuman guru terhadap murid harus dipandang sebagai hukuman orang tua terhadap anaknya, bukan hukuman dari orang upahan kepada orang yang mengupahnya. Meski murid bersekolah dengan membayar, bayaran itu bukan tanda pembelian karena sekolah juga bukan warung tempat para guru berjualan.

Tapi kasus ludah di Purbalingga itu makin mengindikasikan bahwa kedaulatan guru terancam runtuh. Sekolah bukan lagi sebuah rumah tempat murid menganggap guru-guru mereka sebagai orang tua. Sejak sekolah mulai menjadi industri, sejak pendidikan mulai menjadi bahan komoditi, hubungan guru-murid telah berubah menjadi semacam jual beli. Maka betapapun nakalnya si murid, ia tetap harus dipandang sebagai pihak yang punya duit, sebagai majikan. Industri telah mengubah perilaku sekolah-sekolah kita dan memakan guru sebagai korban pertamanya. Maka jika guru kedapatan menjewer kuping murid, kepadanya sudah dituduhkan melakukan tindak aniaya. Ya, hubungan rumah dan sekolah telah berkembang ke arah untuk tidak saling percaya.

Sumber: Prie GS

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home