DAN GURU AGAMA CABUL ITU PUN DIANCAM HUKUMAN 20 TAHUN PENJARA

Seperti biasa, kala istirahat pukul 09.00 WIB, saya punya tugas rutin mengakses internet di sekolah. Sebagai pemimpin Redaksi blog sekolah, memeriksa email sekolah menempati urutan pertama inspeksi rutin tersebut. Terkadang, pengunjung blog mengirimkan email yang mesti segera dijawab. Dilanjutkan membuka blog. Siapa tahu ada respon pengunjung via kotak komentar.

Sembari menunggu loading yang kerapkali terasa sangat lambat, saya membuka jendela baru untuk berturut-turut membuka situs Dinas Pendidikan Jawa Tengah, LPMP Jawa Tengah, Kemdikbud, dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Islam. Kala musimnya telah tiba, saya juga mendapat tugas membuka situs Sertifikasi Guru Rayon UNNES. Kebetulan tahun 2012 ini dua guru di sekolah saya berkesempatan mengikuti tes UKA dan alhamdulillah lulus. Memastikan kedua rekan saya tersebut memperoleh informasi aktual tentang PLPG adalah tugas saya sebagai operator TIK sekolah.


Tak lupa saya membuka email pribadi di Yahoo.
Biasanya, sebelum membuka kotak masuk, saya sempatkan waktu beberapa saat untuk membaca sekilas headline berita di Yahoo. Kalau ada yang menarik, barulah saya baca berita selengkapnya.

Kali ini, mata saya terpaku pada sebuah judul yang terasa sangat menyengat: Guru Agama Cabuli Muridnya .
Bersumber dari Liputan6.com, berita itu dipublikasikan pada Rabu, 25 April 2012. Berikut saya tuliskan berita selengkapnya:
 
Seorang guru agama di sebuah sekolah dasar swasta di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, ditahan karena diduga telah menyodomi seorang muridnya.
Dari tersangka, polisi menyita sejumlah barang bukti di antaranya baju seragam sekolah milik korban dan celana serta kaus milik tersangka. Dalam pemeriksaan polisi, tersangka mengaku sudah menyodomi korban yang tidak lain muridnya sendiri sebanyak 20 kali sejak Juli 2011.
Dalam setiap aksinya, tersangka menjanjikan korban yang masih duduk di kelas 6 SD ini dapat mengikuti kejuaraan di bidang agama asal mau menuruti hawa napsunya. Tersangka juga tidak segan-segan mengancam korban supaya tidak melaporkan perbuatannya. Tersangka sering melakukan hubungan sodomi di sekolah dan rumah korban.
Berbeda dengan keterangan polisi, tersangka mengaku perbuatan menyodomi korban baru dilakukan sebanyak empat kali. Perbuatannya dilakukan dengan dalih agar korban cepat pintar.
Pihak penyidik Polres Jakarta Selatan masih mengembangkan kasus tersebut mengingat disinyalir korban lebih dari satu orang. Sementara, akibat perbuatannya tersangka dijerat pasal 82 UU Perlindungan anak dan pasal 292 KUHP tentang pencabulan sesama jenis di bawah umur. Bila ditotal, ancaman hukuman mencapai 20 tahun penjara.
 
Astaghfirullahalazim. Seraya menghela napas panjang, saya mencoba mencari berita terkait lainnya. Dipublikasikan pada 24 April 2012, bersumber dari tribunnews.com, Yahoo menurunkan berita berjudul “Guru Agama Menyodomi Siswanya agar Pintar”. Berikut isi berita tersebut:
 
Entah setan apa yang merasuki KHD (36). Guru agama disebuah sekolah dasar itu berfikir, dengan air liurnya ia dapat meningkatkan kepintaran murid-muridnya, bahkan hingga tega melakukan Sodomi.

Saat ditemui di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Selasa (24/04/2012), laki-laki lajang itu mengaku mendapat pemikiran tersebut dari obrolan-obrolannya dengan sejumlah kenalan.

Pemikiran bejat itu salah satunya dilakukan terhadap DAH (11), salah seorang siswanya yang ia anggap lamban dalam menerima pelajaran. Akhirnya, korban pun menceritakan kelakuan bejat sang guru ke teman-teman sekolahnya, hingga cerita itu sampai ke kuping kepala sekolah, lalu pihak Kepolisian.

"Sebenarnya dia (DAH) agak lambat mendapatkan pelajaran, Nah saya terinspirasi kata orang-orang kalau mau muridnya pinter dikasih air liur gurunya. Jadi saya niat buat bikin dia pinter Dari air liur itu saya langsung menyodomi," katanya.

Kepada wartawan, KHD mengaku sudah empat kali melakukan tindakan terlarang itu, dan sekali pun ia tidak pernah memiliki rencana.

"Saya ingin anak itu biar pinter, tidak ada niatan sebenarnya buat sodomi," tuturnya.

Sementara itu, Kasubag Humas Polres Metro Jakarta Selatan, Kompol Aswin, mengatakan bahwa pelaku juga memperdayai korban, dengan berjanji akan membantu DAH mengikuti kejuaraan agama tingkat dunia.

"Dia melakukan di kelas khusus untuk kelas tambahan, setelah dijamah-jamah, korban lalu disodomi," ujarnya.

Kepada petugas KHD mengaku telah melakukan aksinya hingga dua puluh kali, sejak Juli 2011, dengan lokasi antara lain di sekitaran sekolah, kelas, kamar mandi sekolah hingga rumah korban.

Agar aksinya tidak tercium pihak lain, KHD juga mengancam korban untuk tidak terita kepada siapapun. Bocah 11 tahun itu pun pada awalnya menurut, hingga akhirnya DAH berani menceritakan kasus tersebut ke teman-temannya.
 
Saya masih terpaku membaca berita sembari berucap istigfar berkali-kali di hati.

Guru. Ya. Dengan tambahan kata “agama” di belakangnya. Betapa beratnya beban moral yang tersandang sekaligus betapa agungnya tugas yang diemban.

Secara tekstual tugas pokok dan fungsi atau tupoksi, guru agama sejajar dengan guru lainnya. Tetapi, tambahan kata di belakang “guru” itulah yang menjadi pembeda meski tak lantas membuatnya eksklusif dan istimewa.

Dalam artikel "Guru: Masih Digugu lan Ditiru" yang dimuat di situs LPMP Jawa Tengah, yang kemudian saya publikasikan ulang di blog SD Negeri Tanggeran pada 29 Mei 2010, saya mendeskripsikan guru sebagai “Sosok yang digambarkan selalu mengajarkan norma dan nilai kebaikan serta menjadi penjaga gawang dalam pendidikan murid-muridnya. Juga wakil dari orang tua di sekolah. Kepadanyalah dititipkan harapan, diamanatkan segudang impian, dan tentu saja, disematkan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Maka, manakala ia melakukan hal-hal di luar kewajaran dan kemudian publik bereaksi (seakan) berlebihan, menurut penulis, hal tersebut sangatlah wajar”.

Pada paragraf keenam dan ketujuh artikel tersebut, saya mencoba menuliskan pendapat pribadi terkait beberapa kasus guru yang sempat terangkat dan dipublikasikan media massa:

“Dengan segala kekurangannya, harus tetap disadari bahwa guru adalah public figure dimana segala tingkah laku dan tindak-tanduknya akan senantiasa menjadi sorotan masyarakat. Maka, reaksi dan respon masyarakat akan sangat berbeda manakala media massa menampilkan berita tentang karyawan, pegawai, atau jenis profesi lainnya yang tertangkap basah di hotel dengan pasangan bukan suami/istrinya, dan pada saat yang bersamaan juga mendapati guru di lokasi yang sama dengan kondisi serupa.

Dan bersiaplah mendengar atau membaca komentar pedas dan sangat reaktif dari masyarakat manakala guru yang diharapkan menjadi orang tua sekaligus sahabat murid di sekolah kemudian menjelma menjadi sosok-sosok angker nan mengerikan yang menebarkan teror dan ketakutan dengan hukuman-hukuman fisik di luar batas kewajaran, atau bahkan menampilkan perilaku amoral dan asusila”.


(Artikel selengkapnya bisa dibaca DI SINI dan DI SINI)

Hari ini, sekali lagi, ketika sosok guru sebagai panutan nyaris tenggelam oleh perilaku amoral dan asusila, saya tertunduk malu. Meski insidental dan sama sekali tak bisa digeneralisasi, kisah pilu itu menyodorkan fakta bahwa betapa tidak mudahnya menjadi seorang guru sesuai dengan makna harfiahnya.

Ya, guru bukan malaikat. Guru, seperti yang tulis di awal artikel tersebut, “….adalah manusia biasa. Ia, seperti halnya jutaan manusia lainnya, hidup dan dihidupi oleh persoalan, besar dan dibesarkan oleh problematika hidup serta menjalani ritme kehidupan sebagaimana manusia normal lainnya”. Tetapi, sebagai sebuah profesi dan pilihan hidup, tanggung jawab itu melekat pada diri dan bukan pada seragam. Karena, bila profesi itu hanya berumur beberapa jam, dari pagi sampai siang atau sore, kala seragam dinas itu masih melekat untuk kemudian turut lepas kala seragam itu ditanggalkan, harga profesi itu setara dengan harga seragam: beberapa puluh ribu.

Tulisan ini didedikasikan sebagai perwujudan rasa turut berbela sungkawa serta kesedihan yang mendalam atas terenggutnya sebuah kepercayaan yang diamanatkan pada pundak guru. Selebihnya, semoga menjadi sebuah prasasti kelam bagi diri saya sendiri untuk selalu mengingat dan terus mengingat bahwa saya adalah seorang guru, sebuah profesi yang mulia bukan karena arti harfiahnya tetapi lebih karena perilaku dan perbuatan manusianya.

Sebagai penutup, ijinkan saya mengutip bagian akhir artikel tersebut: “…pada profesi mulia itulah melekat label digugu lan ditiru, dan bukan wagu lan saru. Dan yang paling penting, pertanggungjawaban tertinggi bukanlah kepada atasan, bukan juga kepada komite sekolah, atau bahkan kepada media massa. Tetapi, kepada Sang Maha Guru: Allah SWT”.

Semoga kita senantiasa diberi kekuatan iman. Amin.


Salam Kreatif!



Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home