Tampilkan postingan dengan label Pena. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pena. Tampilkan semua postingan

PELAYANAN PRIMA

Pada suatu hari, sepulang dari kegiatan perkuliahan, istri saya, Guru TK, menceritakan tentang pembicaraan ibu-ibu penumpang bus umum, dari perjalanan Kajen-Paninggaran. Di sela-sela obrolan tentang beban hidup yang semakin berat akibat harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang kadang suka naik tapi malas turun, tercetus obrolan singkat tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut ibu-ibu, yang asyik ngobrol sembari memangku barang dagangan atau belanjaan mereka, yang hidupnya sangat enak adalah PNS.

Kala harga barang-barang kebutuhan sehari-hari naik, gaji PNS ikut naik. Berbeda dengan mereka yang setiap hari mesti memikirkan tentang sirkulasi modal serta laku-tidaknya barang dagangan plus sengatan panas matahari dan siraman hujan, kerja PNS lebih menyenangkan karena tak terpengaruh mangsa ketiga (musim kemarau) atau mangsa rendheng (musim hujan). Mau hujan atau kemarau, gaji PNS tetap. Dalam obrolan spontan yang diiringi irama raungan mesin bis, yang merayap pelan di tanjakan jalan pegunungan, juga dibicarakan tentang (adanya) PNS yang menurut ibu-ibu tersebut, tidak bekerja sebagaimana mestinya: pulang-pergi ngantor seenaknya, berperilaku negatif, dan terkadang malah mempersulit pelayanan publik.

  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • MEMBERI ATAU MENJADI CONTOH?

    MEMBERI ATAU MENJADI CONTOH?

    Sesuai dengan fitrahnya, setiap anak terlahir dalam keadaan suci. Dengan keluguan dan kepolosannya, ia laksana kertas putih yang akan memiliki warna dan corak sesuai dengan yang digoreskan padanya. Rasa keingintahuannya yang besar dan kemampuan analisisnya yang belum berkembang, cenderung menyebabkan anak meniru segala yang dilihat dan didengarnya. Mata si anak melihat dan merekam apa saja yang tampak olehnya.
    Rekaman tersebut tinggal lama dalam ingatan, sehingga, menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat, ada pakar kejiwaan yang mengatakan bahwa manusia belajar lewat penglihatannya sebanyak 83%. Melalui pendengarannya, anak belajar sebanyak 11%. Sedangkan sentuhan, pencicipan, dan penciuman bersama-sama memberi pengaruh sebanyak 6%. Jadi pengaruh terbesar adalah lewat penglihatan dan pendengaran, yaitu 94% (Zakiah Daradjat, 1995:56).

    Oleh karena itu, apabila sejak usia 3 tahun anak mulai diperkenalkan dan diarahkan kepada nilai-nilai moral, hal itu tentunya akan mempermudah pembentukan pribadi anak yang kelak akan memiliki keunggulan akhlak yang mulia.
    Empati, simpati, dan bentuk-bentuk kecerdasan emosional lainnya, bila berpadu dengan kejujuran yang tertanam kuat sejak dini, akan mempermudah anak untuk diterima di lingkungannya, disamping tentu saja akan menjadi modal dasar yang sangat berharga bagi anak untuk hidup di masyarakat. Ini berarti, selain pembawaan, lingkungan dimana anak dibesarkan, memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan diri dan kehidupannya. Hal ini sejalan dengan Hukum Konvergensi yang berasal dari pendapat ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, William Stern, bahwa pembawaan dan lingkungan, kedua-duanya menentukan perkembangan manusia (Ngalim Purwanto, 1998:60).

    Benih Kebohongan
    Sesungguhnya, dari mana anak memperoleh benih kebohongan atau ketidakjujuran? Mari kita telusuri sejenak. Terkadang, anak menyatakan keinginannya untuk ikut bapak atau ibunya ke suatu tempat, seperti pasar, pesta hajatan, dan sebagainya. Untuk sekadar menyurutkan keinginan sang anak, maka, kemungkinan jawaban orang tua adalah: “Jangan, nanti ada orang gila di sana”, “Nanti disuntik pak dokter, lho”, “Kalau kamu ikut nanti ditangkap pak polisi”, atau jawaban-jawaban sejenis lainnya yang sekiranya membuat anak menjadi takut dan mengurungkan niatnya.
    Memasuki bangku sekolah dasar, lambat laun ia mengetahui bahwa di pasar, atau di tempat lain yang selama ini disebut-sebut oleh orang tuanya, ternyata tidak seperti yang digambarkan oleh orang tuanya. Tidak ada dokter yang akan menyuntiknya secara paksa. Juga tidak ada polisi yang akan menangkapnya. Selain menumbuhkan ketakutan tersendiri terhadap dokter dan polisi, disadari atau tidak, orang tua telah mengajari anaknya untuk berbohong. Lebih fatal lagi apabila sang anak juga menyadari, kelak suatu saat, bahwa ia telah sekian lama dibohongi oleh orang tuanya.
    Pada saat orang tuanya menyuruh anak untuk mengatakan kepada petugas penarik sumbangan, pengamen, atau pengemis, bahwa orang tuanya sedang tidak berada di rumah, ia mulai belajar mempraktikkan ilmu itu manakala ia ingin memiliki mainan baru atau untuk membeli jajan tambahan sementara uang sakunya tak pernah lebih. Dengan mengatakan bahwa uang untuk menabung telah hilang, ia pun bisa memenuhi keinginannya. Dan perlahan-lahan, teknik-teknik berbohong dengan cara-cara yang lebih canggih dan relatif lebih aman mulai ia pelajari dari pengalaman sehari-hari. Contoh-contoh yang diperagakan oleh orang-orang di sekelilingnya akan menjadi referensi berharga untuknya, yang dapat berujung pada kesimpulan sederhana: ternyata, berbohong itu mudah. Orang tua mungkin tak menyadari, dari titik inilah benih kebohongan telah bersemi dan potensinya siap untuk “dibudidayakan” (Dzakiron, 2008:4).

    Keteladanan dan Standar Ganda Orang Tua
    Anak adalah peniru yang baik. Nilai moral yang ditanamkan oleh orang tua, termasuk guru di dalamnya, akan kurang (atau bahkan tidak) berarti bila bertolak belakang dengan tingkah laku orang tua. Akan menjadi upaya sia-sia belaka apabila orang-orang yang semestinya menjadi teladan justru melakukan tindakan yang kontraproduktif dengan ajaran-ajarannya sendiri.
    Di sinilah orang tua kerapkali terjebak pada upaya formalitas: memberi contoh. Dalam konteks pendidikan formal, tak jarang guru juga terjebak pada hal yang sama. Label digugu lan ditiru, di satu sisi memang memberikan nilai prestise tersendiri bahwa guru adalah sekelompok manusia yang memiliki tempat sosial tersendiri. Guru adalah sosok yang digambarkan selalu mengajarkan norma dan nilai kebaikan serta menjadi penjaga gawang dalam pendidikan moral anak didiknya. Juga wakil dari orang tua di sekolah. Kepadanyalah dititipkan harapan, diamanatkan segudang impian, dan tentu saja, disematkan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
    Di sisi lain, sulit menghindarkan kesan bahwa (ada) guru yang terbebani dengan figur yang senantiasa memberikan keteladanan. Akibatnya, ”penampakan” guru untuk tampil prima tersebut kerapkali terbungkus formalitas belaka: sekadar menunaikan kewajiban, sehingga tugas guru sebagai pengajar dan pendidik dianggap selesai manakala telah menyampaikan materi pelajaran. Lebih fatal lagi bila kemudian guru terjebak menempatkan diri pada posisi serba tahu, siaga dengan aturan–aturan keras, dan bahkan kadang teramat sakral untuk sekadar dikritik. Inilah implikasi dari penerapan standar ganda dimana guru mengajarkan beragam aturan dan norma lengkap dengan ancaman tegas serta hukuman atas pelanggaran, dan pada saat yang sama, guru justru melakukan tindakan–tindakan yang kontraproduktif dengan ajaran–ajaran itu. Mengajarkan kesopanan tapi duduk dengan manis di tepi meja siswa saat menerangkan pelajaran; mendoktrin etika berpakaian tapi mengenakan busana kerja yang ketat, rajin mengeluarkan ancaman hukuman atas keterlambatan tapi jarang hadir tepat waktu; dan sebagainya.
    Yang pasti, dengan atau tanpa disadari, sebagai figur dimana terkadang ucapannya lebih dipatuhi anak didik daripada orang tuanya sendiri, segala perilaku dan tutur kata guru, adalah teladan bagi anak didiknya. Upaya menanamkan dan menumbuhsuburkan aneka norma mulia, termasuk kejujuran, menurut penulis, Insya Allah akan lebih mudah dilakukan manakala guru bertindak bukan hanya memberi contoh tetapi juga menjadi contoh.
    Ajaran kejujuran, sebagai bekal pertama dan utama, akan memancarkan aura dan kharisma tersendiri manakala disampaikan oleh guru yang menjadikan nilai-nilai kejujuran sebagai falsafah dasar hidup dan kehidupannya. Atau, minimal, tidak mentradisikan dan melestarikan ketidakjujuran. Karena, semestinya, mengajarkan kejujuran kepada anak didik bukan hanya mendeskripsikan pengertian dan mendiktekan contoh kejujuran serta ketidakjujuran belaka, tetapi, yang lebih penting adalah menanamkan idealisme bahwa “Orang yang menghasilkan harta tanpa peduli dari mana, ia akan dimasukkan Allah ke neraka tanpa peduli dari pintu yang mana” sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami (Achmad Sunarto, 1989: 16). Penulis meyakini bahwa konsistensi penajaman materi akhlakul karimah, khususnya kejujuran dalam mata pelajaran pendidikan agama dan pengintegrasian dalam mata pelajaran lainnya, dari tingkat dasar sampai menengah atas, bahkan sampai ke perguruan tinggi, akan semakin memperteguh keyakinan anak didik akan nilai mulia kejujuran. Pada gilirannya, out put pendidikan akan memiliki standar kejujuran lebih tinggi, yang diharapkan akan meminimalkan lahirnya koruptor-koruptor baru.
    Kalaupun kelak ia berpredikat guru PNS, patutlah kita berharap bahwa ia tidak memanipulasi data untuk pemberkasan dalam pengangkatan CPNS, tidak korupsi waktu, menggunakan kendaraan bergincu alias berplat merah hanya untuk keperluan dinas, serta tidak mempertaruhkan idealismenya untuk meningkatkan karier, seperti mengajukan angka kredit, aneka kompetisi guru, seleksi kepala sekolah, dan belakangan, Sertifikasi Guru; dengan piagam, sertifikat, dan dokumen-dokumen lainnya yang (di)palsu(kan).
    Dalam pengantar kidung Jagalah Hati, KH. Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym) bertutur: ”Alangkah indahnya jikalau kebenaran disampaikan oleh pribadi-pribadi indah, dengan tutur kata yang indah, suara yang indah, yang berasal dari lubuk hati yang indah karena mencintai kebenaran”.
    Bila kita menyepakati bahwa memberi contoh merupakan hal yang penting, maka semestinya kita pun tak butuh waktu lama untuk berdebat hanya untuk mencapai kata sepakat dan mufakat bahwa menjadi contoh itu jauh lebih penting. Setidaknya, agar mitos Undang–undang Kebenaran Guru, yang berbunyi : “Pasal satu: guru selalu benar; Pasal dua: bila guru salah, lihat pasal satu” tidak lagi menjadi perisai dan parit perlindungan, manakala kita, guru, sebagai manusia biasa, melakukan kesalahan dan kekeliruan.
    Selamat Hari Kebangkitan Nasional. ”Bangkitlah” guruku. Bangkitlah Indonesiaku. Bangkitlah!!!



    Referensi:
    Al-Ghazali, Imam. Tanpa tahun. Halal dan Haram. Terjemahan oleh Achmad Sunarto. 1989. Jakarta: Pustaka Amani.
    Daradjat, Zakiah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV. Ruhama.
    Purwanto, Ngalim. 1998. Psikologi Pendidikan. Bandung: CV. Remaja Rosdakarya.
    Dzakiron. 2008. Memutus Mata Rantai “Pendidikan Berbohong” Sebagai Benih Korupsi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Membangun Bangsa Melalui Pendidikan Agama Berbasis Nilai”, Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Agama Islam (LKP2AI) STAIN Pekalongan, 30 Juni 2008.


    Dipublikasikan di: Agupena Jawa Tengah
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • CATATAN KECIL LOMBA GURU PAI BERPRESTASI TINGKAT NASIONAL TAHUN 2009

    Senin sore, 7 Desember 2009, HP saya berdering tatkala saya sedang bercengkrama dengan Si Kecil Wafda dan Uminya. Sebuah nomor asing terpampang di layar HP dan suara perempuan terdengar di speaker-nya. ”Assalamu’alaikum. Bapak Dzakiron, benar? Kami dari panitia Lomba Gupres. Apakah Bapak sudah menerima surat kami? Sambil menunggu surat resmi, kami sampaikan bahwa bapak..........” Lomba Gupres? Lomba apa itu? Sambil mendengarkan penjelasan penelpon, saya mencoba mengingat-ingat istilah tersebut. Masya Allah, Gupres kan guru berprestasi, lomba yang diselenggarakan oleh Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Bergegas saya menyiapkan kertas dan bolpen untuk mencatat informasi yang disampaikan oleh penelepon yang memperkenalkan diri sebagai Ibu Taty Suparti.

    Lebih lanjut Ibu Taty menyampaikan bahwa karya ilmiah saya berhasil masuk dalam tahap kedua, sehingga saya diundang hadir untuk wawancara dan presentasi pada hari Selasa, 15 Desember 2009 di Hotel Mercure Pantai Indah Ancol Jakarta dengan membawa Surat Tugas dari Kandepag Kabupaten/Kota, tiga bendel copy-an makalah, bahan presentasi dalam bentuk power point, serta menyerahkan seluruh tiket perjalanan yang kelak akan diganti oleh panitia.

    Sukar dilukiskan kebahagiaan saya kala itu. Esok harinya, Selasa, 8 Desember 2009, setelah panitia kembali menelepon via telepon kantor dan meminta nomor faksimili yang kemudian diberi nomor fax milik BRI Unit Paninggaran (karena SD belum memiliki), surat via fax bertuliskan FROM: DITPAIS dan menunjukkan waktu 10:33 PM saya terima. Siang harinya, sebelum Dzuhur, petugas pos mengantarkan sebuah surat dari Direktorat Pendidikan Agama pada Sekolah Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama. Surat bernomor DT.I.II/Kp.02.3/1110/09 dan bertanggal 3 Desember 2009 yang ditandatangani oleh Direktur Pendidikan Agama pada Sekolah, Dr. H. Imam Tholkhah, MA., semakin mempertegas informasi yang disampaikan lewat telepon sebelumnya.


    Asumsi: Ironisme Kompetensi
    Awalnya, saya sempat ragu untuk mengikuti lomba itu. Saat membaca pengumuman di situs www.depag.go.id, judul Pemilihan Guru Pendidikan Agama Islam Berprestasi dalam Penelitian Tindakan Kelas (Class Room Action Research) Tahun 2009 beberapa saat membuat saya merenung. Bukan karena saya tidak punya bahan untuk lomba tersebut karena kebetulan saya pernah melakukan penelitian tindakan kelas pada tahun 2008. Tetapi, label tingkat nasional-lah yang sempat menciutkan nyali saya. Saya memang pernah mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah bagi Guru PAI di Sekolah Umum Tingkat Nasional Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Departemen Agama. 


    Tetapi, kala itu saya tak pernah mengetahui nasib karya tulis yang saya kirimkan. Barulah pada beberapa waktu kemudian, tepatnya pada November 2008, selembar sertifikat datang ke SD saya via pos. Sertifikat yang membuktikan partisipasi saya sebagai peserta tersebut ditandatangani oleh Kepala Balitbang, Drs. H. Imran Siregar.

    Tetapi, setelah mempelajari Panduan Pelaksanaan yang saya download dari situs Depag pada tanggal 3 Oktober 2009, saya mulai menemukan kembali semangat untuk berkompetisi. Meski penuh dengan bahasa teknis, panduan dalam format PDF dengan besaran file 354 kb tersebut berhasil menggiring saya untuk membulatkan tekad mengikuti lomba tersebut dan mengirimkan karya tulis di akhir minggu keempat Oktober 2009, tepat pada akhir batas pengiriman.

    Sesungguhnya, ada faktor lain yang membakar motivasi saya untuk mengikuti lomba tersebut, yaitu asumsi. Ya, asumsi. Asumsi yang barangkali agak naif sekaligus ironis tapi menurut saya, sangat manusiawi. Dari 27 SD negeri se-kecamatan, hanya beberapa orang GPAI yang bisa mengoperasikan komputer dan lebih sedikit lagi yang berminat pada dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk internet. Menurut saya, minat adalah modal dasar sementara bisa adalah konsekuensi logis dari minat yang ditindaklanjuti dengan belajar dan latihan. Dan minat itulah yang kerapkali tidak saya temukan dalam forum KKG manakala pembahasan program dan penelusuran sumber belajar mesti berhadapan dengan internet.

    Hal yang kurang lebih sama saya temukan dalam lingkup yang lebih besar: kabupaten. Setelah mengikuti Pelatihan dan Silaturrahmi Guru PAI SD Tingkat Propinsi Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh KKG PAI Propinsi Jawa Tengah di Asrama Haji Donohudan Boyolali pada tanggal 19-21 Agustus 2006 silam, beberapa bulan kemudian saya diberi kepercayaan untuk menjadi anggota tim sosialisasi KTSP PAI Tingkat Kabupaten Pekalongan. Sebagai anggota tim yang didominasi oleh GPAI yang mengikuti pelatihan di Donohudan tersebut, saya berkesempatan bertemu dengan GPAI di beberapa kecamatan. Mohon maaf kalau pada akhirnya saya juga menarik kesimpulan yang sama. Tentu dengan tidak mengabaikan pencapaian prestasi GPAI yang luput dari pengamatan saya karena tempat tugas dan domisili saya berada di ujung selatan pegunungan Kabupaten Pekalongan, yang jauh dari hingar bingar dan akurasi informasi.

    Faktor-faktor itulah, yang kemudian diperkuat dengan frekuensi komunikasi yang lebih intens dalam acara KKG Kabupaten, Lomba Mata Pelajaran dan Seni Islami (MAPSI), maupun dalam kegiatan sejenis lainnya, yang makin meneguhkan saya untuk berasumsi sederhana: dengan sedikitnya GPAI yang berminat terhadap TIK, termasuk internet, logika saya, sedikit juga GPAI yang mengakses informasi lomba lewat situs www.depag.go.id tersebut. Agak naif memang. Tetapi, sangat manusiawi ’kan kalau pada akhirnya saya merasa peluang saya untuk memenangkan lomba tersebut semakin besar, meski hanya untuk sekadar meningkatkan motivasi?

    Dan alhamdulillah, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa saya. Bersama dengan empat peserta lainnya dari berbagai propinsi, dua dari Jawa Barat serta seorang Ibu Guru dari Surakarta untuk kelompok SD, serta masing-masing 8 peserta untuk kelompok SMP dan SMK, kami berkompetisi untuk memperebutkan trophy, piagam penghargaan, laptop, serta uang tunai senilai total Rp 200 juta. Presentasi di depan Dewan Juri yang dipimpin langsung oleh Direktur Pendidikan Agama pada Sekolah, Bp. Dr. H. Imam Tholkhah, MA., berupaya menjawab aneka pertanyaan tajam dan kritis dari seorang profesor dari sebuah universitas terkemuka di Jakarta, serta beradu argumen dengan seorang pengurus Asosiasi Guru PAI (AGPAI) Pusat, benar-benar sebuah perjuangan yang mendebarkan sekaligus memacu adrenalin


    Selebihnya, saya benar-benar menikmati aneka fasilitas mewah dengan pelayanan prima di hotel berbintang yang terletak di objek wisata Ancol tersebut. Satu kamar dengan seorang peserta dari Kuningan, Jawa Barat, ternyata kami sama-sama menjadi orang kaya baru alias OKB. Meski sebelumnya saya telah mendapat aneka referensi dari teman-teman, ternyata saya juga mengalami aneka kejadian yang pada saat diceritakan dulu pun saya turut tertawa. Mulai dari kesulitan membuka pintu hotel dengan kartu, menyalakan lampu kamar dengan kartu yang sama, sampai menikmati berendam air panas di bak mandi tapi tak juga menemukan tombol untuk menguras airnya. Sampai jauh malam kami masih menertawakan diri sendiri atas kekonyolan demi kekonyolan yang kami lakukan. 

    Saya tidak tahu pasti harga kamar yang kami tempati. Yang pasti, dari brosur yang ada di kamar, kelas Superior merupakan kelas termurah dengan harga Rp 690.000,- pada hari Senin-Kamis dan menjadi Rp 825.000,- pada Jum’at, Sabtu, dan hari libur sedangkan Presidental Suite harganya selangit: Rp 7.500.000,- pada hari biasa dan pada hari libur menjadi Rp 8.200.000,-., Dengan jendela menghadap langsung ke Pantai Ancol, free hotspot, dan makan malam senilai Rp 185.000,- yang merupakan harga makanan termahal yang pernah saya santap, gaji saya sebulan mungkin hanya cukup untuk menginap sehari semalam saja.

    Sayangnya, jadwal kegiatan yang sangat padat tidak memberikan waktu yang memadai bagi peserta untuk bersosialisasi dengan para kompetitornya. Sampai acara penutupan, saya tidak sempat mencatat nama peserta dari Surakarta, yang menurut sms teman peserta dari Jawa Barat yang berhasil meraih peringkat 3, Beliau mampu menyabet peringkat pertama. Buat Ibu Guru dari Surakarta, selamat dan sukses untuk Anda. Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikannya langsung karena permintaan data peserta dan hasil akhir lomba yang saya sampaikan kepada panitia via e-mail, sampai tulisan ini saya kirimkan ke Redaksi Rindang belum juga mendapat balasan sehingga saya tidak memiliki data pribadi Ibu.

    Fastabiqul Khairat
    Kalaupun dari awal tulisan ini saya senantiasa memberi penekanan pada minimnya minat GPAI terhadap teknologi internet, sama sekali saya tidak bermaksud merendahkan, apalagi mengerdilkan pencapaian prestasi GPAI yang telah ada. Sama sekali tidak. Saya juga menyadari bahwa hal tersebut tidak berdiri sendiri dan memiliki keterkaitan dengan banyak hal. Tetapi, dari sudut pandang yang berbeda, faktor itulah yang turut menyumbang andil besar dan memotivasi saya untuk mengikuti lomba tersebut. Artinya, pada saat saya melihat peluang, saat yang sama saya juga merasakan sebentuk keprihatinan, seperti yang juga disampaikan Kasubdit Ketenagaan Ditpais Depag RI, Bp. Chaerul Akmal, SE. MM., kala menutup lomba. Menurut beliau, dari sekitar 170.000-an guru PAI di sekolah umum se-Indonesia, hanya sekitar 200-an naskah lomba yang masuk ke meja panitia.

    Di tengah laju pesatnya globalisasi serta dinamisnya perkembangan teknologi; efek negatif internet, seperti pornografi, penyalahgunaan facebook, dan aneka kejahatan dunia maya lainnya, menurut saya, tak semestinya menjadi penghalang bagi kita untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sisi positif internet sebagai sumber informasi dan sumber belajar yang melampaui sekat geografis, ruang dan waktu yang terjaga 24 jam. Apalagi manakala tuntutan profesionalisme guru, sebagaimana dimanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.

    Dalam tataran praktis, kompetensi itulah yang dikehendaki oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, pada tabel 3 Standar Kompetensi Guru Mata Pelajaran di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, dimana disebutkan dalam Kompetensi Pedagogik poin 5, Kompetensi Inti Guru adalah Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; sedangkan dalam Kompetensi Profesional poin 24, Kompetensi Inti Guru adalah Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri (www.depdiknas.go.id).

    Meski pada akhirnya hanya masuk delapan besar sebagai finalis dan gagal membawa pulang laptop yang telah lama saya impikan, dua hari di Jakarta bersama kandidat guru PAI terbaik se-Indonesia dalam nuansa kompetisi yang ekstraketat merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Kalaupun kelak guru-guru PAI Kabupaten Pekalongan khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya nanti telah begitu familiar dengan internet sehingga peserta lomba di tahun-tahun mendatang jumlahnya akan melonjak drastis, Insya Allah tidak akan membuat saya berkecil hati hanya karena banyaknya peserta. Bukankah salah satu ajaran agama adalah agar kita gemar ber-fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan?

    &&&&&

    Catatan: artikel ini dikirimkan ke Redaksi Rindang Semarang via e-mail pada 24/02/2010. Artikel ini saya tulis setelah berada di tempat kerja baru, dimana sebelumnya saya mengajar di SD Negeri 01 Paninggaran Kec. Paninggaran Kab. Pekalongan


    Dipublikasikan di Blognya SD Negeri Tanggeran pada 27 Mei 2010
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • GURU: MASIH DIGUGU LAN DITIRU

    Guru, sebagaimana sosok makhluk sosial lainnya, adalah manusia biasa. Ia, seperti halnya jutaan manusia lainnya, hidup dan dihidupi oleh persoalan, besar dan dibesarkan oleh problematika hidup serta menjalani ritme kehidupan sebagaimana manusia normal lainnya. Tetapi, guru juga bukan manusia biasa-biasa saja. Buktinya, ia juga bisa menggemparkan jagad Indonesia manakala menjadi headline surat kabar ketika beberapa sosoknya melakukan perbuatan-perbuatan yang “tidak biasa” seperti memberi hukuman fisik yang kelewat batas, pelecehan seksual, dan sebagainya.

    Digugu lan ditiru, itulah label yang dilekatkan padanya. Sosok yang digambarkan selalu mengajarkan norma dan nilai kebaikan serta menjadi penjaga gawang dalam pendidikan murid-muridnya. Juga wakil dari orang tua di sekolah. Kepadanyalah dititipkan harapan, diamanatkan segudang impian, dan tentu saja, disematkan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Maka, manakala ia melakukan hal-hal di luar kewajaran dan kemudian publik bereaksi (seakan) berlebihan, menurut penulis, hal tersebut sangatlah wajar.

    Memang, mesti diakui, ada hal-hal yang belum tercipta sesuai harapan. Ada kondisi-kondisi ideal yang belum terwujud sesuai impian. Tetapi, juga mesti diakui, perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik telah dan masih terus diupayakan, khususnya oleh pemerintah (dan pemerintah daerah) yang paling berkepentingan terhadap kualitas guru sebagai bagian integral dari kualitas pendidikan secara umum.

    Maka, marilah coba kita tempatkan persoalan tersebut secara proporsional. Beberapa kasus kenakalan guru yang terekspos media massa adalah insidental, yang tidak serta merta bisa digeneralisasi bahwa semua guru juga berperilaku dan melakukan hal yang sama. Bukankah media massa juga kerapkali mengekspos tentang pencapaian prestasi akademik guru, baik kolektif maupun individu, yang berhasil mengantarkan anak didiknya mencapai prestasi cemerlang di tingkat nasional, bahkan internasional?

    Signal inilah yang mesti ditangkap bukan hanya sebagai sebuah peringatan, tetapi juga pelajaran yang sangat berharga.

    Dengan segala kekurangannya, harus tetap disadari bahwa guru adalah public figure dimana segala tingkah laku dan tindak-tanduknya akan senantiasa menjadi sorotan masyarakat. Maka, reaksi dan respon masyarakat akan sangat berbeda manakala media massa menampilkan berita tentang karyawan, pegawai, atau jenis profesi lainnya yang tertangkap basah di hotel dengan pasangan bukan suami/istrinya, dan pada saat yang bersamaan juga mendapati guru di lokasi yang sama dengan kondisi serupa.

    Dan bersiaplah mendengar atau membaca komentar pedas dan sangat reaktif dari masyarakat manakala guru yang diharapkan menjadi orang tua sekaligus sahabat murid di sekolah kemudian menjelma menjadi sosok-sosok angker nan mengerikan yang menebarkan teror dan ketakutan dengan hukuman-hukuman fisik di luar batas kewajaran, atau bahkan menampilkan perilaku amoral dan asusila.

    Sebagai manusia biasa, guru pun memiliki peluang yang sama untuk melakukan kesalahan dan kekeliruan. Tetapi, memanusiakan guru dan memanusiawikan kesalahan-kesalahan yang guru lakukan tersebut pada dasarnya semakin memperjelas posisi guru sebagai mahluk sosial yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan hidup normatif dan bukannya menyetujui, apalagi membenarkan dan mengamini tindakan-tindakan keliru tersebut.

    Karena, pada profesi mulia itulah melekat label digugu lan ditiru, dan bukan wagu lan saru. Dan yang paling penting, pertanggungjawaban tertinggi bukanlah kepada atasan, bukan juga kepada komite sekolah, atau bahkan kepada media massa. Tetapi, kepada Sang Maha Guru: Allah SWT.

    Dipublikasikan di LPMP Jawa Tengah
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • KALA SISWA BERTANYA TENTANG HAID DAN MIMPI BASAH




    Awalnya adalah pelajaran PAI kelas VI, Kamis, 11 Agustus 2011 yang lalu. Seperti biasa, pada Bulan ramadhan ini saya selalu mengawali pelajaran dengan menyampaikan materi seputar puasa Ramadhan. Kebetulan mengulas hal-hal yang membatalkan puasa. Tibalah gilirannya membahas haid sebagai hadas besar yang menghalangi kaum perempuan untuk menjalankan puasa.

    Beberapa kali membahas haid, saya selalu menemukan fakta menarik. Di awal pembahasan, kala mereka kelas V, siswa laki-laki hampir kompak melagukan koor: hiiiiiiiiiiiiiiiii. Siswa perempuan makin tersudut dan mereka makin malu kala saya bertanya siapa saja yang sudah haid. Sembari tersenyum, saya merasa menemukan momen yang tepat untuk mengajarkan mereka agar memandang masalah haid secara proporsional, dengan tidak mengesampingkan fakta bahwa sudut pandang haid sebagai hal yang “menjijikan” tak lepas dari pengaruh latar belakang sosial dan geografis Tanggeran sebagai wilayah pedesaan yang agak terpencil sehingga tema-tema sejenis itu termasuk kategori saru alias kurang sopan untuk dibahas.

    Berdasarkan pengamatan dan riset kecil-kecilan, banyak kaum perempuan yang mengalami kesulitan beradaptasi kala haid pertama. Saya banyak belajar dari istri saya tentang haid beserta sudut pandang perempuan. Rasa pertama yang hinggap kala mendapatkan haid pertama adalah bingung dan resah. Saya merasa mendapatkan pembenaran tentang hal itu kala saya memutar memori ke masa lalu saat duduk di bangku MTs YMI Paninggaran, sekarang bernama MTs Salafiyah Paninggaran.

    Suatu hari, teman perempuan sekelas saya, tak mau keluar kelas kala istirahat. Ia, yang kini berputra tiga, tak beranjak dari tempat duduknya sampai bel pulang berbunyi. Ketika pulang, tas sekolah ia tutupkan di belakang rok panjang yang tampak basah di bagian pantat. Di bangku panjang, terlihat bekas cairan melebar. Di kemudian hari, beberapa lama kemudian, barulah saya tahu kalau peristiwa yang menggemparkan kelas itu adalah haid pertama.

    Dari pembicaraan saya dengan beberapa teman remaja putri, ada kesamaan yang saya peroleh tentang perasaan mereka kala mendapatkan haid pertama. Upaya mereka untuk memperoleh informasi tentang “peristiwa pertama” itu kerapkali menemui jalan buntu. Untuk bertanya dengan orang lain, mereka terbelenggu malu. Kala bertanya kepada kakak atau anggota keluarga yang lain, terkadang jawaban yang diberikan belum cukup mampu mengobati aneka kebingungan dan keresahan mereka. Ketika pertanyaan coba diajukan kepada sang ibu, seringkali jawabannya seragam: “ndak apa-apa, nduk. Itu wajar, normal, dan sudah takdir. Ibu juga dulu mengalaminya”.

    Kala saya membayangkan sebagai remaja perempuan itu, jawaban-jawaban yang saya peroleh sepertinya belum cukup mampu mengobati aneka penasaran. Hal yang hampir sama juga kerapkali terjadi manakala remaja putra mengalami mimpi basah perdana.

    Konsep Taharah

    Islam menjunjung tinggi taharah, yang terjemahan bebasnya adalah kebersihan. Sayangnya, konsep mulia itu terkadang mengalami kesulitan penerjemahan kala berhadapan dengan dunia nyata, khususnya dunia pedesaan yang akrab dengan risih dan pekewuh, khususnya dalam hal haid. Hal itu kemudian diperparah dengan pemahaman sempit soal gender.

    Dalam pandangan saya, momen haid pertama adalah momen istimewa yang sangat tepat untuk menjelaskan konsep Islam yang sangat aktual sekaligus faktual. Dari sisi remaja yang lebih mudah memahami penjelasan logis, haid bisa dijelaskan dengan sangat ilmiah. Penjelasan selanjutnya yang menurut saya tidak kalah penting adalah konsekuensi logis dari haid. Pertama, mandi janabah atau mandi besar kala telah selesai. Kedua, dunia baru telah menjelang. Haid, menurut saya, adalah “upacara” penobatan seorang muslimah sehingga ia telah siap menjalani aneka tuntutan dan tuntunan agama secara utuh dan bertanggung jawab.

    Di sisi lain, periode puber selanjutnya telah menanti. Ia mesti memperoleh pemahaman yang memadai tentang etika pergaulan pada fase itu. saya memilih untuk memulai menyampaikan sex education di titik ini, dengan konsep, bahasa, dan cara penyampaian yang sesuai dengan usia dan perkembangan psikis mereka.

    Nyaris tak terasa, saya merasa kehabisan waktu untuk menyampaikan tema itu. Tiga jam pelajaran terasa sangat kurang, meski didukung oleh peralatan multimedia. Semangat yang terpancar dari hampir semua siswa di kelas itu membuat saya mengabaikan kerontangnya tenggorokan. Tawa yang sesekali pecah, meski raut muka malu-malu tetap mendominasi, hampir melupakan saya bahwa batas jam pelajaran telah saya lalui.


    Pelajaran di hari kesebelas Ramadhan pun berakhir. Saya rasakan lelah yang luar biasa, disamping dahaga yang makin menjadi. Tetapi, hari itu, saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Belum banyak yang bisa saya berikan. Namun, sorot mata murid-murid kala bersama membaca doa akhir pelajaran seakan memberitahu saya kalau mereka bergembira memperoleh informasi baru dan menikmati pelajaran hari itu.

    Bagi seorang guru, bukankah itu sebuah kebahagiaan yang teramat nyata?
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • MENAKAR PELUANG LINGGO ASRI SEBAGAI PUSDIKLATCAB PRAMUKA KABUPATEN PEKALONGAN


    Oleh : Dzakiron
    Sekretaris I
    Gerakan Pramuka Kwarran Paninggaran Kabupaten Pekalongan


    Obyek wisata Linggo Asri di Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan menjadi satu diantara 11 tujuan pariwisata di Jawa Tengah yang memperoleh bantuan dari pemerintah pusat sebagai bagian dari persiapan program Visit Jateng Year 2013. Dengan total anggaran 50 miliar, masing-masing lokasi akan memperoleh antara 4-9 miliar (Suara Merdeka, 5 Juli 2011).
    Membaca berita tersebut, sebagai warga tetangga kecamatan serta hampir setiap minggu melintas di depan lokasi, penulis membayangkan hiruk pikuknya pengembangan yang akan dilakukan dalam ikut mendukung target pencapaian Visit Jateng Year 2013 sebanyak 25 juta wisatawan nusantara dan 500.000 wisatawan asing.


  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • SGMPB 12503750

    14 September 2012
    Gudang Tua Pelabuhan Nusantara Pekalongan
    16.30 WIB


    Satu langkah lagi Bandi maju hingga jarak di antara mereka kurang dari lima meter.
    ”Ha...ha...ha...!” tawa nyaring membahana di ruang berdinding tembok tebal itu. “Aku tahu kamu masih menyayangi nyawa adikmu, anak muda! Sekarang, serahkan datanya!” perintah pria berkepala pelontos itu.
    “Serahkan dulu Sari, Mr Irul! Kalau terjadi apa-apa dengannya, aku pastikan Mr juga tak akan mendapatkan apa-apa!” balas Bandi seraya mendengus marah.
    ”Tenang... adikmumu aman bersamaku,” ujar Mr. Irul sebelum memutar kursi yang berada tepat di belakngnya. Di kursi itulah Sari duduk terikat dengan lakban hitam merekat di mulutnya. ”Kecuali bila tak segera kau serahkan datanya. Maka...” diambilnya sebuah jarum suntik dengan tabung penuh berisi cairan hijau dari sakunya. Dilepaskan penutup jarum lalu ditempelkannya ujung jarum itu di pergelangan tangan Sari yang tampak meronta-ronta. ”Dalam lima detik seluruh isinya akan berpindah ke dalam otak adikmu. Bagaimana?” sepasang bibir itu mengurai senyum kemenangan.
    ”Ilmuwan keparat, kau Mr!” maki Bandi
    “Keparat? Siapa? Siapa yang keparat?!” sergah Mr Irul. ”Perhimpunan ilmuwan negeri ini yang keparat! Kuhabiskan umurku di laboratorium untuk menyelesaikan riset formula pemacu kecerdasan otak ini agar tak ada lagi siswa yang tak lulus ujian nasional. Tapi apa yang mereka lakukan? Hanya karena kesalahan kecil, mereka menghentikan bantuan dana riset, menyita peralatanku, dan menutup laboratoriumku!” Mr Irul menatap Bandi tajam. Kobaran amarah menyala di matanya.
    ”Kesalahan kecil? Tikus yang Mr gunakan sebagai percobaan berubah menjadi predator dan memangsa kucing. Itu merubah mata rantai makanan dan mengacaukan sistem alami. Itu Mr sebut kesalahan kecil, hah?” sahut Bandi tak kalah sengit.
    ”Omong kosong! Aku masih mampu menyempurnakan formulanya. Sedikit lagi pekerjaan besar itu akan selesai. Sekarang, berikan datanya sebelum kesabaranku habis. Dan biarkan aku menyelesaikan penemuan terbesar abad ini dengan emas yang kau temukan teknologi pelacaknya itu!”
    Bandi menghela nafas panjang. Sesaat matanya menjelajahi ruangan itu dan mendapati sosok-sosok tubuh kekar bersenjata otomatis AK-49i buatan Rusia bertebaran di setiap sudut dan di belakang Mr Irul. Dari bawah sol sepatunya, dengan memijit tombol tersembunyi, dikeluarkannya sebuah mini CD dan langsung dilemparkannya ke arah Mr Irul.
    Dengan sigap, Mr Irul menangkap CD mungil itu. Ia mengamatinya sejenak kemudian menyerahkannya kepada seorang anak buahnya yang duduk di depan laptop mutakhir, satu langkah di samping kanannya. ”Periksa CD ini!”
    ”Oke, Bos!” jawab anak buahnya yang dengan cekatan segera melakukan tugasnya. Setelah memasukkan CD, tangannya menekan beberapa tombol keyboard. Lalu... ”Bersih, Bos! Orisinil, tanpa virus, tanpa penyadap, dan belum pernah di-copy. Kita hanya perlu passwordnya!”
    Mr Irul tersenyum puas. ”Hmmm... bagus. Kamu tipe taat perintah rupanya. Berikan passwordnya!”
    ”Lepaskan Sari lebih dulu!” tuntut Bandi, ”Dan Mr akan dapatkan yang Mr inginkan.”
    Tangan kanan Mr Irul terangkat, memberi perintah. Dua orang anak buahnya bergegas mendekat, lalu membuka ikatan Sari dan menarik lepas lakban hitam. Sari segera menghambur ke pelukan Bandi.
    ”Giliranmu, anak muda. Jangan coba-coba menipuku. Kalian berdua takkan bisa meninggalkan ruangan ini hidup-hidup!” tegas Mr Irul.
    Bandi mematung sejenak sebelum akhirnya membuka mulut, ”SGMPB 12503750.”
    Lelaki muda berkaca mata bening di depan laptop menekan tombol huruf dan angka-angka itu. Di layar monitor, tampil halaman Google Earth yang segera memberikan citra gambar 3 dimensi Propinsi Jawa Tengah. Tampak bulatan merah berkedip-kedip dari lokasi Pekalongan disusul dengan titik-titik kuning emas yang bermunculan hampir serentak memenuhi peta Jawa Tengah itu.
    Mata Mr Irul tak berkedip menyaksikannya. Mulutnya menyeringai lebar. ”Ha...ha...ha...! Emas! Emas! Ha...ha...ha...! Akan kusempurnakan formulanya! Setelah itu itu, namaku akan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai ilmuwan terbesar sepanjang masa. Ha...ha...ha...!”


    &&&&&


    14 September 2012
    Hall C Terminal Induk Transito Paninggaran
    17.15 WIB


    Bandi melepas helmnya dan beranjak turun dari motor minijetnya. Sesaat dia menyapukan pandangan ke seantero Paninggaran yang tampak jelas dari lantai tertinggi Terminal Induk Transito Paninggaran yang baru saja diresmikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan itu. Dan baru Bandi sadari, Sari sedang menatapnya.
    ”Ada apa, Sar?” tanya Bandi. Ujung jilbab Sari melambai tertiup semilir angin sore.
    ”Kenapa Kakak berikan data itu? Teknologi pelacak emas yang baru saja Kakak temukan akan memudahkan ilmuwan gila itu mewujudkan ambisinya. Emas-emas itu pasti akan digunakannya untuk membeli peralatan baru dan membangun kembali laboratoriumnya. Dunia terancam bahaya besar, Kak.” Sari mendesah lirih. Resah.
    Bandi tersenyum tipis. Dibalasnya tatapan adik semata wayangnya itu. ”Nyawamu lebih berharga, Sar. Selain itu, aku nggak sebodoh yang mereka kira.”
    ”Maksud Kakak, software pelacak emas dalam CD itu palsu?” tanya Sari dengan alis terangkat.
    ”Enggak. CD beserta isinya itu asli, sesuai permintaan Mr Irul. Aku kenal dia. Dia pasti telah memperhitungkan kemungkinan terburuk. Tapi aku telah melengkapi software itu dengan Automatic Selfdestroy System.
    ”Sistem Penghancur Diri Otomatis? Tapi bagaimana mungkin komputer canggih Mr Irul tak bisa mendeteksinya?”
    ”Aku telah memperhitungkannya,” jawab Bandi tenang, ”Titik-titik kuning penanda lokasi emas yang tadi nampak di layar hanya beberapa buah yang asli. Lainnya, palsu.”
    ”Palsu?”
    ”Ya. Ingat waktu kita makan buah nangka dari kebun belakang peninggalan Ayah dua minggu lalu?” Bandi balik bertanya, dan langsung menyambung ucapannya setelah melihat Sari mengangguk kecil, ”Secara tak sengaja, aku menemukan bahwa getah nangka tua dari hasil bumi Paninggaran ternyata mengandung zat pelapis yang mampu memantulkan 85% gelombang elektromagnetik. Saat sistem pengaman di software itu dibuka dengan password SGMPB 12503750, program pelacak akan langsung bekerja. Sinyal pelacak lokasi emas itu akan terkirim ke satelit relay NIR 51164 punyaku dan akan dituntun ke lokasi yang sesugguhnya. Sinyal itu juga akan singgah di pohon nangka depan rumah kita, karena di salah satu buahnya telah kutanam supermikroprosesor yang selain bertugas menangkap sinyal juga berfungsi memperbesar kemampuan pantulan zat pelapis hingga 100%. Dengan bantuan supermikroprosesor generasi III itu, sinyal akan dikloning secara massal dan akan dikembalikan ke komputer melalui satelit relay bersama dengan sinyal pantulan yang asli. Itu telah kuuji beberapa kali. Dan hasilnya, persis seperti yang kita lihat tadi.” papar Bandi.
    ”Lalu bagaimana sistem penghancur diri otomatis itu bekerja?” tanya Sari lagi.
    ”Itu mudah. Password SGMPB memang membuka akses terhadap software itu. Tetapi, pada saat yang bersamaan, password 12503750 akan mengakifkan Automatic Selfdestroy System. Dalam waktu 14,9 detik, sistem tersebut akan menghubungkan komputer mereka dengan komputer induk pada Identification Area Network atau IAN milik Kantor Pusat Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melaporkan pengguguran identitas komputer dan seluruh benda hidup beridentitas lainnya dalam radius 10 m dari sistem itu bekerja.”
    Bandi menghentikan penjelasannya. Di depannya, Sari terlihat serius mendengarkannya.
    ”Itu berarti,” lanjut Bandi, ”Identitas komputer mereka beserta seluruh mahluk hidup dalam radius itu akan dihapus dari IAN. Dan akan berstatus tak pernah ada. Proses itu akan selesai dalam 58 detik, bersamaan dengan musnahnya seluruh data dalam komputer mereka. Tatkala mereka menyadarinya, itu sudah sangat terlambat karena pada detik ke-59, Mr Irul dan seluruh anak buahnya akan terisolasi dari semua sistem informasi global. Ini karena komputer IAN terkoneksi online dengan database kependudukan internasional di kantor pusat PBB yang meng-update data tiap 30 detik. Setiap upaya akses mereka ke segenap layanan publik akan ditolak. Kalaupun mereka nekad menerobos kode pengaman komputer IAN yang berlapis-lapis, mereka akan berurusan dengan Badan Antariksa Nasional yang akan mengklasifikasi dan mengenali mereka sebagai benda asing tak beridentitas alias alien. Atau, paling tidak, mereka akan berhadapan dengan dinas intelijen dan keamanan nasional karena dianggap sebagai mata-mata negara asing. Cukup adil untuk orang-orang serakah seperti mereka, bukan?”
    Sari terpana. Ia seakan masih terpana ketika Bandi telah duduk kembali di atas motornya dan segera menyalakannya.
    ”Eh, ayo! Mau pulang, nggak?” ajak Bandi seraya mempermainkan gas motor minijet berkecepatan maksimum 510 km/jam itu. ”Jangan kuatir, data orisinal software itu tersimpan aman di kepalaku.”
    ”Nanti dulu. Password software itu kok kayaknya agak aneh. Nggak seperti biasanya,” sahut Sari penasaran.
    “Aneh? Ah, nggak juga,” sergah Bandi. ”SGMPB. SeGo Megono Plus Bakwan. 12503750. Berapa harga sebiji bakwan? Rp 250, ’kan? Kalau tiga biji?” tanya Bandi sembari mengangkat alis.
    Mata Sari berbinar. ”Wah, semudah itu? Kalau Mr Irul bisa memcahkan password itu, berarti mereka bisa mendapatkan kembali identitasnya, dong!”
    ”Bisa. Tapi persoalannya, mampu nggak mereka melakukannya?” kembali Bandi memutar-mutar stang gas motornya.
    ”Tahu, ah! Emang gue pikirin!” jawab Sari singkat. ”Yuk, pulang!” Sari langsung nangkring di belakang Bandi. Detik berikutnya, motor minijet itu melesat ke angkasa timur Paninggaran, meninggalkan kepulan asap tipis di Hall C Terminal Induk Transito Paninggaran.


    &&&&&&&&&&


    Dikirimkan ke Tabloid Remaja Tren Semarang (Suara Merdeka Grup) pada 22 Februari 2003; dimuat di tabloid tersebut pada edisi 71/2/20-25 Mei 2004.
    Ditulis kembali dengan judul yang sama dengan editing setting lokasi, waktu, dan beberapa dialognya.
  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Next previous home