DAN SEPTEMBER PUN TIBA .....


“Aku mau ikut kamu kalau nanti musolla di depan rumahmu sudah jadi”
. Kalimat itu terucap dari Bapak, suatu hari, bertahun-tahun yang lalu. Saat itu, untuk kesekian kalinya aku dan istriku menawarkan Beliau agar mau ikut dengan keluarga kami. Tak jauh, masih di satu desa. Hanya beda RW.

Kala kemudian “musolla” yang Beliau sebut itu berwujud menjadi Masjid Baitul Abror di Perumahan GPP Paninggaran, ternyata tak mudah mewujudkan niat mulia itu. Bapak tak terbiasa duduk diam di depan televisi saat kami pergi beraktifitas. Apalagi Ibu yang terus saja menyibukkan diri dengan kegiatan di pasar meski anak-anaknya sudah nyaris tak berhenti memintanya untuk purnatugas.

Akhirnya, Bapak dan Ibu tetap bersama Kakak saya. Tak jadi soal karena mungkin Beliau berdua lebih nyaman. Sesekali memang menginap di rumah kami. Tapi pagi harinya hampir dipastikan minta pulang kembali.

Tentang syarat musholla jadi tersebut, aku tahu pasti apa yang Beliau maksud. Bapak tak pernah bisa jauh-jauh dari masjid. Tempat kedua yang Bapak perkenalkan kepadaku sejak kecil, setelah rumah, adalah Masjid Khoirul Huda Paninggaran, kala dulu Beliau masih menjadi muazin alias petugas azan.

Sesaat setelah Bapak keluar rumah dengan berkalung sajadah, kami, putra-putranya, harus tiba beberapa saat kemudian di masjid yang sama. Tanpa kompromi apapun.

Meski saat itu saya kerapkali menggerutu khas anak-anak, saya hanya bisa mematuhinya tanpa koma. Karena sedikit saja pelanggaran atas pelaksanaan solat, apalagi disengaja, jangan pernah bertanya konsekuensinya. Telinga dijewer sampai memutar 180 derajat hanyalah sebuah hukuman awal.

Dibesarkan di keluarga pedagang tahu tempe, selulus MTs Salafiyah Paninggaran tahun 1995, saya ingin melanjutkan sekolah. Karena kala itu di kecamatan saya belum ada SMA, maka pilihan satu-satunya hanyalah ke kota. Meski awalnya Ibu kurang menyetujui, Bapak kemudian memberi restu dengan kalimat pendek: “Pergilah cari sekolah. Paling tidak agar kamu kelak bisa memperbaiki mesin penggiling kedelai di rumah kita”.

Dimulailah perjalanan panjang itu. Berbekal nekad naik bis, modal tanya sana tanya sini termasuk menginap di rumah Saudara, sampailah ke STM Negeri Kedungwuni (kini SMKN 1 Kedungwuni) yang memiliki Jurusan Mesin.

Saat pengumuman kelulusan, ternyata nama saya tak tercantum di daftar.

Kala berkerumun dengan mereka yang senasib, beberapa brosur pendaftaran terlihat. Dan setelah membaca dengan cermat jurusan yang tersedia, saya langsung tertarik untuk mendaftar di STM Muhammadiyah Pekalongan.

Atas izin Allah, dimulailah perjalanan menjadi peserta didik jurusan mesin tenaga di sekolah tersebut. Campur tangan Allah pulalah yang saya rasakan sepanjang perjalanan itu, termasuk kala “dipaksa” mengikuti lomba ceramah keagamaan tingkat SMA/SMK di Masjid Al-Karomah Tirto oleh Guru Bahasa Indonesia. Juara pertama bisa saya raih dengan hadiah tambahan dari sponsor berupa kursus komputer gratis selama 6 bulan. Meski awalnya kurang tertarik, tapi karena gratis dan tak bisa diuangkan, kursus tersebut pun saya jalani sampai selesai. Bertahun-tahun kemudian, ilmu dari kursus komputer itulah yang kemudian mewarnai hidup dan kehidupan saya. Termasuk kehidupan keluarga karena di tempat itulah Allah mempertemukan saya dengan wanita yang kelak akan menjadi Uminya Wafda Sabila dan kedua adiknya.

Di STM, saya melihat banyak mesin bekas yang mirip dengan mesin pengolah kedelai di rumah. Tak sedikit kondisinya yang lebih parah tapi hebatnya bisa menyala dan berfungsi juga. Hingga akhirnya sayapun memilih salah satu mesin diantaranya sebagai ajang latihan khusus. Di rumah, kala liburan, saya mencoba mempraktikannya dengan mesin rusak di rumah. Selama proses itu, Bapak tak pernah berkata sepatah kata pun, Beliau beraktifitas seperti biasa.

Dan suatu hari, entah di pekan ke berapa, mesin rusak itu bisa menyala dan kembali mengepulkan asap setelah sekian lama mati suri. Kala itu, Bapak mendekat dan berucap pendek: “Bagus. Itu tandanya ilmu yang kamu peroleh di sekolah tidak percuma”.

Bapak memang agak irit bicara. Jarang sekali bicara panjang kecuali bila sedang marah besar. Yang Bapak mungkin tidak tahu, kalimat pendeknya hari itu sangat berarti bagi saya.
 
===

Dan kala September 2022 hari ini menyapa, untuk pertama kalinya, aku harus benar-benar mengikhlaskan Bapak pergi. 13 hari lagi atau 14 September 2022, genap usianya 82 tahun. Atau setidaknya, tahun itulah yang tertera di KTP. Kala dulu aku hendak membuat akta kelahiran dan memerlukan kutipan akta nikah, dokumen itu ternyata tak pernah ada, seperti banyak keluarga lainnya di desaku terutama dari kalangan petani kebanyakan. Dan tahun 1940 adalah tahun yang Bapak yakini sebagai tahun kelahiran. Sedangkan 14 September adalah tanggal kelahiran yang kupilihkan, sengaja kubuat sama denganku agar mudah diingat. Karena Bapak tak pernah tahu tanggal lahirnya sendiri.

Dan Allah memang berkehendak dengan caraNya sendiri. IA kabulkan doa kami sekaligus juga dengan caraNya sendiri. IA angkat sekaligus sembuhkan penyakitmu dengan caraNya sendiri.

Minggu, 28 Agustus 2022 sekitar pukul 11.20 WIB silam, beberapa saat sebelum Azan Zuhur berkumandang, engkau pergi dengan tenang. Kepergian yang sejatinya sudah engkau tunggu sebagaiman kerapkali engkau ucapkan kala mendengar berita kematian saudara/tetangga: “Mengapa kok dia dulu yang diambil, ya?”.

Dan sungguh aku tak bisa meneteskan satu pun titik air mata untukmu saat itu, sejak memandikanmu untuk kali terakhir bersama tiga saudaraku. Sesungguhnya bukan tak mau, tapi tak mampu. Karena melihat Ibu yang dengan ketenangannya yang luar biasa, menunjukkan keikhlasan sepenuh hati melepasmu pergi. Aku sama sekali tak ingin mengusik suasana hati Ibu dengan mempertontonkan duka yang sejatinya telah memporak-porandakan ketahanan fisik dan batinku dengan luar biasa.

Selebihnya, maafkan aku bila kemudian memilih menenggelamkan diri dalam kesendirian maupun berbaur dalam keriuhan kegiatan untuk menikmati perih yang sungguh sangat terasa. Sebagaimana Ibu, Insya Allah aku sangat ikhlas melepasmu, Pak. Dan aku pernah berjanji di masa lalu, hari itu, untuk tidak akan membuatmu menangis dan juga tidak akan pernah menangis di depanmu. Kalaupun kemudian aku tetap terisak di depan peristirahatan terakhirmu di pagi hari kala saudara, kerabat, dan tetangga telah beranjak pergi setelah mengaji bersama, aku tetaplah anak kecilmu.
===
Tulisan ini didedikasikan sebagai sebuah pesan untuk kita semua bahwa kematian adalah hal yang pasti akan menghampiri kita semua tanpa terkecuali. Mari persiapkan diri.
==
Untuk sahabat yang mengenal Bapak Kholidi bin Cangali, baik langsung maupun tidak langsung, atas nama keluarga, perkenankan saya menyampaikan permohonan maaf atas segala salah dan khilaf. Mohon juga berkenan memaafkan segala kesalahan Beliau. Dan bila ada hal yang semasa Beliau hidup masih ada kewajiban sebagai sesama yang belum tertunaikan, mohon kiranya mengikhlaskan agar lebih melapangkan perjalanan pulangnya. Bilapun tidak, mohon berkenan menghubungi saya.

Sebaliknya, bila semasa Beliau hidup ada secuil kebaikan yang pernah diperbuat, mohon berkenan memanjatkan doa.

Terima kasih untuk semuanya.

Paninggaran, 1 September 2022
01.28 WIB dinihari

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home