Sampai Kapan Bahasa Jawa Bertahan?

Kearifan Lokal, Internetnya Indonesia, Telkom Group, IndiHome

Rabu, 15 Juni 2022 pukul 10.00 WIB, SDN 01 Tenogo Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan tempat saya mengajar menggelar acara pengumuman kelulusan dengan mengundang orang tua/wali murid kelas 6. Alhamdulillah, peserta didik yang berjumlah 22 anak seluruhnya berhasil lulus dimana 19 anak melanjutkan ke SMP terdekat yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari SD sedangkan 3 lainnya melanjutkan ke sekolah/pondok pesantren di luar kecamatan.

Keesokan harinya, Kamis, 16 Juni 2022 pukul 19.08 WIB, sebuah pesan masuk ke WA saya. Ternyata dari salah satu peserta didik yang baru lulus. Pesan dalam Bahasa Jawa tersebut isinya: “assalamualaikum pak guru, Alhamdulillah kulo lulus, maturnuwon sanget sampun di didik, di bimbing kalih pak guru, kulo nyuwon  ngapuntene ingkang katah² nggeh semoga ilmu ingkang pak guru paringi saged berguna klih bermanfaat kangge kulo” yang artinya kurang lebih: “Assalamualaikum, Pak Guru. Alhamdulillah saya lulus, terima kasih banyak sudah dididik dan dibimbing oleh Pak Guru. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, semoga ilmu yang sudah Pak Guru berikan bisa berguna dan bermanfaat untuk saya”.

Membaca pesan tersebut, saya tak bisa menahan senyum bahagia. Karena dua hal. Pertama, karena peserta didik saya tersebut menggunakan bahasa Jawa Krama dalam pesannya. Bahasa Jawa Krama adalah tingkatan bahasa yang dipergunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati. Tingkatan ini dibagi lagi menjadi dua yaitu Krama Inggil dan Krama Madya. Sesuai namanya, Inggil bermakna duwur yang berarti tinggi, yang merupakan tingkatan bahasa yang paling tinggi sedangkan Madya bermakna tengah yang berarti satu tingkat di bawah Krama Inggil.

Sedangkan tingkatan di bawahnya lagi adalah Ngoko yang juga dibagi menjadi dua: Ngoko Alus dan Ngoko Lugu. Bila Ngoko Alus masih sedikit bercampur bahasa Krama, yang dipergunakan dalam komunikasi harian dengan teman sebaya; maka Ngoko Lugu adalah tingkatan bahasa yang paling rendah yang sama sekali tidak menggunakan bahasa karma.

Kedua, saya tahu, betapa tidak mudahnya menggunakan Bahasa Jawa Krama dalam kehidupan sehari-hari di saat kita tidak berasal dari lingkungan keluarga yang menggunakan bahasa tersebut dalam kesehariannya. Mayoritas peserta didik saya hanya menggunakan bahasa Krama dengan gurunya di sekolah sementara keseharian di rumah menggunakan Ngoko Lugu.
 
Kearifan Lokal, Internetnya Indonesia, Telkom Group, IndiHome
Sumber: Dok. Pribadi

Persis yang saya alami kala berseragam Merah-Putih, puluhan tahun silam. Masih lekat dalam ingatan saya betapa sangat tidak mudahnya mengikuti mata pelajaran Bahasa Jawa di SD. Bahkan sampai MTs. Bahasa yang saya pergunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu sementara bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil yang biasanya hanya saya kenal di tayangan televisi milik Pemerintah kala itu, TVRI, di acara Ketoprak atau sejenisnya.

Dengan tertatih-tatih, saya, dan mungkin banyak teman sebaya saya kala itu, mengikuti beragam ajaran budaya dan norma dalam pelajaran tersebut. Belum lagi di banyak kosa kata terdapat perbedaan antara penulisan dan pengucapannya. Di sisi lain, betapa saya sangat iri dengan beberapa teman sebaya saya yang lancar sekali menggunakan bahasa Krama Inggil dengan orang tuanya sehingga kelihatannya juga tidak begitu susah mengikuti pelajaran. Mereka rata-rata berasal dari keluarga PNS yang sebagian besar orang tua atau kakek neneknya pendatang dari wilayah Klaten, Surakarta, dan wilayah Timur Jawa Tengah lainnya.

“Dendam” itu baru saya lunasi kala saya bersekolah di STM di luar kota. Meski pulang kampung sekitar satu bulan sekali, di kelas satu saya masih sangat-sangat canggung untuk  berbahasa Krama dengan Ibu dan Bapak saya. Masih campur aduk. Barulah di pertengahan kelas dua, saya mulai penuh menggunakannya. Dan terus saya lestarikan sampai kemudian menikah dan dikaruniai anak.

Beberapa saat kemudian saya pun menjawab. Juga dalam Bahasa Jawa: “Waalaikumsalam. Alhamdulillah, Pak Guru nderek bungah, Mbak. Selamat, gih. Mugi-mugi doanipun dipun ijabah Allah, dados lare ingkang solihah, sukses dunia akhirat. Pak Guru ugi nyuwun ngapunten ingkang kathah dereng dados guru ingkang sae, namung saged mbimbing semampune Pak Guru. Mugi-mugi silaturrahmi tetep terjalin gih walaupun sampun lulus” yang artinya kurang lebih: “Waalaikumsalam. Alhamdulillah, Pak Guru ikut berbahagia, Mbak. Selamat, ya. Mudah-mudahan doanya dikabulkan oleh Allah, menjadi anak yang solihah, sukses dunia akhirat. Pak Guru juga minta maaf yang sebesar-besarnya belum bisa menjadi guru yang baik, hanya bisa membimbing semampu Pak Guru. Semoga silaturrahmi tetap terjalin walaupun sudah lulus”.

Keteladanan adalah Kurikulum Terbaik

Saat kemudian bermetamorfosis menjadi guru SD dan kembali berjumpa dengan pelajaran Bahasa Jawa, saya seperti menatap cermin kala berhadapan dengan peserta didik. Pada akhirnya, saya memang harus berdamai dengan diri saya sendiri. Bila saya yang mendidik mereka saja masih berkutat dengan kesulitan abadi untuk menerapkan bahasa Krama Inggil yang baku, baik tulisan maupun pelafalan, maka kemudian saya memilih jalan tengahnya: yang penting mereka paham dulu dengan normanya, dengan etikanya, dan dengan makna dasarnya. Minimal attitude mereka telah terpola sejak kelas awal SD, dengan segala kekurangan mereka dan, tentu saja, dengan segenap keterbatasan saya.

Maka, di percakapan grup WA, yang makin intensif di musim Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) akibat Pandemi Covid-19 sejak pertengahan Maret 2020, saya hanya mengizinkan dua bahasa: Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa Krama. Juga dalam keseharian di kelas meski saya bukan guru kelas yang mengampu mata pelajaran Bahasa Jawa,. Dengan segala belepotannya. Dan tentu saja: tata penulisan yang tak perlu dirujuk ke Kamus Bahasa Jawa. Yang penting saya mengerti dan memahami apa yang mereka maksud. 
 

Karena saya sendiri ketika menulis jawaban di grup juga seringkali tak sekali jadi. Lebih sering saya hapus berulang sebelum dikirim. Dan kala tak juga menemukan apa yang saya cari, jalan keluarnya adalah: mencampurnya dengan Bahasa Indonesia. Lihatlah jawaban saya kepada peserta didik saya di awal tulisan ini. Bila Anda orang Jawa atau setidaknya yang memahami aturan baku penulisan Krama Inggil, Anda mungkin tersenyum simpul atau bahkan tertawa membacanya.

Satu yang saya yakini: keteladanan adalah kurikulum terbaik. Bila saya mengimpikan mereka, peserta didik saya, mengenal bahasa Jawa beserta segala budaya dan nilai luhur ajaran leluhur untuk kemudian bangga menggunakannya sebagai bagian dari keluarga besar Indonesia, maka saya harus terus melakukan dan menggunakannya bersama mereka. Dengan segala kekurangannya. 
 
Perlukah Berbahasa Jawa?

Kala mendampingi peserta didik ber-studi wisata ke Pekan Raya Kajen pada 26 Agustus 2017 silam (yang saya publikasikan DI SINI), salah satu stand yang dikunjungi adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan. Seperti halnya kala ke stand lainnya, peserta didik mesti mencatat informasi-informasi penting sebagai bahan menyusun laporan kelompok.

Kearifan Lokal, Internetnya Indonesia, Telkom Group, IndiHome
Berpose di dalam stand Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan (Sumber: Dok. Pribadi)

Sesampainya di depan stand, setelah menyapa seorang ibu penjaga stand, saya memberi instruksi dalam bahasa Jawa Krama kepada peserta didik untuk berkeliling dan melihat-lihat sesuai kelompoknya. Saat saya sedang memantau peserta didik itulah Ibu penjaga stand bertanya kepada saya, juga dalam bahasa Jawa Krama, dari sekolahan mana. Kami pun mengobrol. Di sela-sela obrolan, Beliau menyampaikan perasaan senangnya kala mendapati anak-anak kecil berbicara santun dalam bahasa Jawa kepada orang yang lebih tua.

Ketika kemudian saya menjawab bahwa hal itu dibiasakan di sekolah meski dengan segala keterbatasan kami sebagai gurunya yang dibesarkan dengan dialek Pekalongan, Beliau tersenyum dan berkata kurang lebih “Kalau bukan kita, orang Jawa, yang menggunakan dan melestarikannya, lalu siapa lagi? Di era modern seperti saat ini, kala sopan santun mulai luntur, memperkenalkan mereka kepada budaya leluhur adalah salah satu perwujudan bentuk tanggung jawab kita kepada generasi muda”.

Bahasa Jawa: Sebuah Kearifan Lokal

Ade M. Kartawinata dalam Pengantar Editor Merentas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian untuk buku "Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi" yang diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2011 menulis bahwa dalam pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity).

Sementara itu, di bawah judul "Memperkaya Kearifan Lokal dengan Bahasa Daerah", Ahmady Firdaus menulis di laman Jogja Daily bahwa salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan budaya daerah. Bahasa daerah merupakan salah satu bahasa yang dikuasai oleh hampir seluruh anggota masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu. Oleh karena itu, sangat wajar jika adat, kebiasaan, tradisi, tata nilai, dan kebudayaan masyarakatnya juga terekam di dalam bahasa daerah tersebut.

Di bagian lain, menurut artikel tersebut, salah satu usaha yang mungkin bisa dilakukan, yakni dengan memberikan dan mengajarkan, serta mendidik anak-anak dengan beberapa petuah melalui ungkapan-ungkapan. Kemudian, menjelaskan nilai-nilai yang terkandung.
 
Kearifan Lokal, Internetnya Indonesia, Telkom Group, IndiHome

Masyarakat Jawa termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budayanya, meskipun kadang-kadang mereka tidak mampu menggunakan bahasa Jawa secara aktif dengan undha-usuk, serta tidak begitu paham dengan kebudayaannya.

Penutup: Berpikir Global, Bertindak Lokal

Vanya Karunia Mulia Putri dalam artikel "Makna Pernyataan ‘Berpikir Global, Bertindak Lokal’" di laman Kompas menulis bahwa Virgilius Bate Lina dan Berty Sadipun dalam jurnal Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal Kabupaten Ngada (2018), menjelaskan bahwa para ahli sosial telah mengembangkan ungkapan atau pernyataan ‘think globally, act locally’ yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘berpikir global, bertindak lokal’.

Makna dari pernyataan ‘berpikir global, bertindak lokal’ adalah memiliki pemikiran serta sikap yang terbuka terhadap perkembangan zaman, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan lokal.

Sependapat dengan penjelasan tersebut, saya meyakini bahwa menanamkan sekaligus menumbuhsuburkan kecintaan kepada bahasa Jawa, sebagai bagian dari budaya Indonesia, di tengah dinamisnya perubahan zaman; sedikit banyak akan memicu dan memacu generasi muda untuk tetap memegang norma dan susila serta bertahan dengan ajaran leluhur nenek moyang .

Di masa lalu, proses pembelajaran, baik di rumah maupun di sekolah, mungkin hanya terpaku dengan buku yang tersedia secara fisik dalam jumlah terbatas dan monoton. Kini, di era digital, media pembelajaran dalam bentuk yang sangat variatif dan dengan kemasan yang lebih menarik, sangat mudah diakses dengan layanan internet. Salah satunya menggunakan Wifi Cepat IndiHome dari Telkom Indonesia, Internetnya Indonesia.
 


Jadi: sampai kapan bahasa Jawa, khususnya Krama Inggil, bertahan? Sebagai manusia biasa, jujur saja, saya tidak tahu. Yang pasti, saya meyakini: selama orang Jawa masih mencintai budayanya, masih berkomunikasi lisan dan tulisan dengan Bahasa Jawa, dan para orang tua serta pendidik tetap menjadi teladan hidup yang bukan hanya memberi contoh namun sekaligus juga menjadi contoh, Insya Allah selama itu pula bahasa Jawa akan lestari. 

 
Kearifan Lokal, Internetnya Indonesia, Telkom Group, IndiHome

Sebagai orang Jawa, di kawasan pegunungan Selatan Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, saya bangga menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian di rumah. Dan putri kedua saya yang baru saja berulang tahun keempat di Bulan Mei 2022 silam pun menggunakan bahasa Jawa Krama dalam kesehariannya. Dalam logat Pekalongan. Seperti Ayah Bundanya.

Optimis Lebih Manis, Bersyukur Tambah Makmur.

Salam Luar Biasa!

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home