BANGKITLAH, PANINGGARANKU......

Refleksi Akhir Tahun

Bagian I: Menunggu Momen yang Tepat

Alkisah, seorang kakek terperosok di sebuah parit di tepi jalan desa. Kakek itu pun merintih kesakitan seraya meminta tolong. Tak lama kemudian, seorang tokoh masyarakat melewati jalan tersebut. Mendengar rintihan meminta tolong, sang tokoh menghentikan langkahnya dan bergegas mendekati kakek tersebut. Sesaat setelah mengamati keadaan sang kakek, sembari melihat jam tangannya, tokoh tersebut berkata, ”Mohon maaf, Kek. Saya ingin menolong kakek tapi saya telah ditunggu oleh masyarakat di Balai Desa untuk membicarakan program pembangunan desa, yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kakek tenang saja, nanti pasti ada orang yang lewat yang akan menolong kakek. Permisi.” Dan pergilah sang tokoh meninggalkan kakek yang masih terus merintih kesakitan.

Tak lama berselang, muncullah seorang tokoh agama. Setelah mengamati keadaan sang kakek, tokoh agama itu berujar, ” Mohon maaf, Kek. Saya ingin menolong kakek tapi saya telah ditunggu oleh jama’ah saya yang telah menanti sejak tadi. Ini pengajian bulanan jadi mereka telah menunggu sebulan lamanya untuk mendengarkan ceramah saya. Kakek tenang saja, nanti pasti ada orang lewat yang akan menolong kakek. Permisi.” Dan pergilah sang tokoh meninggalkan kakek sendirian.


Beberapa saat kemudian, lewatlah di jalan tersebut seorang pemulung berbaju lusuh. Mendengar rintihan meminta tolong, pemulung itu bergegas mendekat, kantong plastik dan batang besi dicampakkannya ke tanah, dan segera menolong kakek tersebut serta membawanya ke rumah penduduk terdekat. Setelah memastikan sang kakek mendapat pertolongan, pemulung itu mengambil barang-barangnya dan kembali meneruskan pekerjaannya: mencari sampah yang bisa dijual untuk membeli beras dan lauk untuk anak dan istrinya yang setia menunggu di rumah.

Momen yang Tepat



Ada hal mendasar yang ingin penulis sampaikan melalui ilustrasi di atas, yaitu momen. Tokoh masyarakat dan tokoh agama lebih memilih untuk melayani masyarakat yang menunggu mereka dengan dalih bahwa menolong kakek itu bukanlah momen yang tepat. Selain urusan masyarakat yang mereka anggap lebih penting daripada sekadar menolong seorang kakek, mereka meyakini bahwa akan datang orang lain yang akan melakukan pekerjaan itu.
Momen yang tepat. Itulah kata sakti yang sering ditunggu oleh banyak orang untuk melakukan sesuatu. Tidak terkecuali oleh (sebagian) generasi muda. Seringkali kita temui generasi muda, yang umumnya terdidik, yang belum juga mau terjun ke masyarakat karena ”menunggu momen yang tepat”. Pilihan yang tidak sepenuhnya salah. Tetapi, perlu juga disadari bahwa proses menunggu tidak lantas membuat jarum jam berhenti berdetak sementara gerak dan geliat dinamika masyarakat amatlah dinamis.

Di sisi lain, terkadang juga kita temui generasi muda yang pada akhirnya lebih memilih mundur dari ”gelanggang pertempuran” dengan dalih bahwa masyarakat telah terlanjur rusak sehingga ia yang mencoba hadir sebagai agent of change, agen perubahan-sebutan yang amat dibanggakan hasil produksi kampus-ternyata tak mampu merubah apapun di masyarakat. Idealisme yang dibawa dari kampus nan megah, sumber referensi dari aneka buku, diktat, modul, dan karya ilmiah, serta teori-teori panjang lebar yang dengan susah payah telah dihafalkan, ternyata menjadi teramat abstrak manakala hendak diimplementasikan di kehidupan nyata. Di kampus, yang haru-biru oleh gegap gempita semangat perubahan lengkap dengan teriakan dan acungan tangan mengepal, idealisme adalah kenyataan. Dan merupakan sebuah harga mati yang tak lagi bisa ditawar. Di masyarakat? Aneka kenyataan kemudian seringkali berujung pada kesimpulan singkat: untuk bertahan hidup, kenyataan adalah idealisme. Dan tenggelamlah sang agen perubahan pada pertempuran batin yang nyaris tanpa jeda. Tanpa ujung. Tidak sedikit yang menyerah kalah dan terkapar di titik lelah.

Tak adakah celah di antara dua pilihan itu? Apakah pilihan untuk memperjuangkan idealisme di masyarakat adalah semata-mata pilihan antara benar dan salah, antara hitam dan putih? Menurut penulis, ada. Memperjuangkan idealisme memang sebuah keniscayaan. Tetapi, kenyataan yang dihadapi di masyarakat juga sebuah fakta yang mesti dihadapi. Karena, konflik antara benar dan salah, jujur dan bohong, dan sejenisnya, tiada mengenal ruang dan waktu laksana hitam dan putih yang selain saling meniadakan juga saling mempertegas dan adakalanya saling melengkapi seperti papan catur yang padu-padan karena harmoni kedua warna tersebut. Lantas, mestikah mengorbankan idealisme hanya untuk diterima di masyarakat? Tak adakah jalan keluar untuk bisa eksis di masyarakat tanpa perlu menggadaikan idealisme, bahkan menjual murah dengan diskon besar-besaran?

Dipublikasikan di blog SD Negeri Tanggeran pada tanggal 1 Juni 2010

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home