MEREKA BUTUH TEMAN BICARA….



Malam beranjak larut. Beberapa menit lagi tengah malam. Semilir angin dingin Paninggaran pada Rabu, 13 Oktober 2010 lalu tak menggoyahkan enam orang (empat diantaranya remaja) yang tengah duduk manis di ruang tamu. Seperti malam-malam sebelumnya, ruang tamu saya bisa beralih fungsi menjadi basecamp anak-anak muda. Selain pembicaraan resmi, seperti pembahasan agenda Pramuka, Jama’ah Barzanji Al Hidayah, dan sejenisnya, aneka tema pembicaraan akan mengalir dengan hangat. Diselingi gelak tawa dan dering HP pertanda SMS masuk, diskusi bisa berlangsung dengan sangat sengit karena terkadang diwarnai dengan adu argumen. Malam itu, tema tak bergeser jauh dari persoalan khas anak muda: cinta. Empat kepala, empat persoalan cinta. Dari cinta terhalang tembok restu sampai rumitnya melabuhkan cinta di jenjang pernikahan.


TEMAN BICARA
Mereka rata-rata berusia 25-27 tahun. Hanya jeda 5 tahunan dengan saya. dan bagi saya, perbedaan itu benar-benar hanya pada bilangan umur. Singkatnya, saya pernah seusia mereka tapi mereka belum pernah seusia saya. Saya pernah menjalani romantika hidup pada seusia mereka (duka lara, jatuh cinta, terluka, suka cita, dan yang pasti: pernah-atau malah sering-salah dan berbuat dosa) sedangkan mereka belum pernah mengalami perjalanan hidup seusia saya. Itu saja. Pengamalan agama dan kedewasaan? Bagi saya tak terikat usia. Bisa jadi ibadah mereka lebih rajin dari saya.
Oleh karena itu, saya lebih menyukai pendekatan emosional. Karena, bagi saya, manakala teman-teman muda mau curhat dan berbagi tentang persoalan hidup, yang pertama pasti karena mereka merasa nyaman, yang dilandasi oleh unsur kepercayaan. Bukankah itu amanat yang mesti saya jaga?
Saya sependapat dengan beberapa tokoh yang menyatakan bahwa Islam adalah praktik, bukan teori. Sejalan dengan Quraish Shihab yang mempopulerkan ”Membumikan Al Qur’an”, tantangan yang kemudian mesti saya jawab adalah menunjukkan kepada teman-teman saya tersebut bahwa Islam menyediakan solusi untuk semua persoalan. Urusan nilai (dosa dan pahala) atas perbuatan biarlah itu urusan Allah SWT sebagai Sang Maha Hakim. Sebagai manusia biasa yang tak luput (dan sering) berbuat salah dan dosa, saya sama sekali tak punya hak untuk menghakimi karena hanya Allah-lah yang lebih tahu.
Maka, saya tak perlu pidato berbusa dengan taburan ayat-ayat al Qur’an. Selain karena pemahaman saya sangat-sangat terbatas, saya meyakini bahwa pesan-pesan keagamaan tak harus disampaikan dengan cara formal. Meski inti dan ujung dari pesan-pesan tersebut berhulu dan bermuara pada nilai-nilai mulia agama, cara penyampaian tak harus kaku dan cenderung menghakimi.
Itu pulalah yang saya terapkan manakala pada suatu pagi, beberapa tahun silam, seorang pemuda datang dan berujar singkat bahwa pacarnya hamil 2 bulan. Setelah berbincang cukup lama, alhamdulillah, kurang dari 2 x 24 jam, saya berhasil meyakinkan dia dan keluarganya untuk segera melaksanakan pernikahan, sebagai solusi terbaik. Pada pemuda lain dengan kasus serupa, dia bertanya, ”Kenapa sampeyan tidak menyalahkan saya seperti yang orang lain lakukan?”. Sambil tersenyum, saya menjawab, ”Saya meyakini bahwa setiap orang Islam yang baligh dan telah cukup umur, pasti tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mana halal dan mana haram. Tatkala sebuah peristiwa telah terjadi, tak lagi penting membicarakan mengapa bisa terjadi. Tapi yang lebih penting adalah memikirkan tindakan selanjutnya.”

REMAJA: MAKHLUK UNIK
Dengan karakter khasnya, remaja merupakan makhluk unik yang dalam menghadapinya semestinya menggunakan metode yang khusus pula. Sayangnya, orang tua seringkali mengabaikan bahasa hati remaja dan terjebak pada bahasa verbal semata. Banyak kesalahpahaman yang terjadi, yang pada akhirnya semakin memperjelas kegagapan menerjemahkan bahasa hati remaja.
Kegagapan menerjemahkan bahasa hati remaja ini bisa menjadi bumerang. Karena, pada gilirannya, upaya-upaya komunikasi akan sangat mungkin menemui jalan buntu dan jauh dari hasil yang diharapkan. Sebab, perbedaan “bahasa” yang dipergunakan akan membuka peluang terjadinya perubahan format komunikasi dua arah menjadi komunikasi satu arah. Inilah kondisi yang mudah dan sering terbaca pada “forum dialog”, seperti pendidikan agama. Kongkretnya, dakwah. Betapa lalu menjadi kenyataan yang merisaukan manakala kegiatan–kegiatan dakwah mengalami kesulitan dalam menyampaikan misi mulianya akibat kekeliruan mempergunakan bahasa dakwah. Tanpa mengabaikan upaya–upaya dakwah yang berhasil merangkul remaja dan sukses dalam menyampaikan misinya, sulit disangkal bahwa salah satu penyebab kegagalan dakwah terhadap remaja adalah tidak tepatnya metode dakwah yang dipergunakan, yang berpangkal dari gagap bahasa tadi.
Ketidaktepatan metode dakwah ini biasanya diawali dari penempatan posisi yang kurang sejajar. Remaja ditempatkan pada posisi yang lemah, harus patuh tanpa syarat, dan selalu bermasalah. Sementara tokoh–tokoh pelaku dakwah (orang tua, guru, tokoh masyarakat, dai, dan sebagainya) menempatkan diri pada posisi serba tahu, siaga dengan aturan–aturan keras, dan bahkan kadang teramat sakral untuk sekadar dikritik. Pada situasi seperti ini, yang miskin dari kehangatan dan saling pengertian, sulit diharapkan terciptanya komunikasi ideal. Pada akhirnya, tokoh–tokoh tersebut, beserta program–program dakwahnya, akan menjadi sosok–sosok asing bagi remaja.

PENCARIAN JATI DIRI
Proses pencarian jati diri bukanlah proses instan yang serta merta dan langsung jadi. Secara umum, setiap remaja pasti berkeinginan melewati masa transisi dari anak–anak menuju dewasa ini dengan wajar, aman, dan tanpa rintangan. Tapi jalan hidup tak selalu lurus, bukan? Tanpa bermaksud membela teman–teman remaja bermasalah yang terjerumus pada berbagai kasus kenakalan, anggaplah misalnya hal itu sebagai sebuah peristiwa salah jalan dan tersesatnya remaja. Dengan kemampuan memanajemen konflik yang sangat terbatas dan tingkat emosional yang jauh dari stabil, bijakkah bila remaja dibiarkan sendirian mengatasi segala permasalahan dan tertatih–tatih mencari jalan pulang yang semestinya dilalui? Dalam usahanya berjuang keras menemukan jati diri dan menata langkah mewujudkan cita–cita, remaja terkepung di tengah–tengah ancaman narkoba, pergaulan bebas, tindak kriminal, dan sebagainya, yang siap merenggut usia muda dan harapannya.
Tanpa bermaksud mencari–cari kambing hitam, mestinya juga perlu disadari bahwa persoalan remaja tidaklah berdiri sendiri. Lingkungan dimana remaja tumbuh dan berkembang menyajikan sekaligus mengajarkan beragam adegan, yang disadari atau tidak, terekam dalam benak remaja dan perlahan–lahan mempengaruhi pola pikir dan tindakan remaja. Penerapan standar ganda oleh orang tua telah menyudutkan remaja pada posisi dilematis. Di satu sisi, orang tua mengajarkan beragam aturan dan norma lengkap dengan ancaman tegas dan hukuman atas pelanggaran. Di sisi lain, kerapkali orang tua justru melakukan tindakan–tindakan yang kontraproduktif dengan ajaran–ajaran itu.
Dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi orang tua, sikap orang tua seperti itu akan mempersulit remaja dalam meneladani orang tua. Tatkala remaja memiliki sedikit keberanian untuk mempertanyakan standar ganda tersebut, orang tua terkesan berlindung di balik “Undang–undang Kebenaran Orang Tua“, yang berbunyi : “Pasal satu : orang tua selalu benar. Pasal dua : bila orang tua salah, lihat pasal satu.”
Dalam kesendirian yang penuh ketidakpastian, tidaklah mudah untuk berpikir dan bertindak jernih. Dengan tumpukan berbagai persoalan hidup, ditambah dengan keringnya hati akan siraman rohani, remaja menjadi sosok yang teramat rapuh dalam mengarungi kerasnya hidup. Maka, ibarat konsumen berhasrat besar dengan daya beli rendah, tatkala sisi lain kehidupan menawarkan “produk–produk“ berharga miring dan kemudahan memperolehnya, semisal narkoba, “transaksi“ pun akan sangat mungkin terjadi.
Tindakan tegas dalam menanganinya terkadang juga dibutuhkan. Terutama untuk kasus–kasus kenakalan remaja yang berdampak luas dan menyeret banyak pihak sebagai korban. Namun, sepertinya akan sangat bijak bila penanganan kenakalan remaja ini tidak disandarkan pada aturan tegas dan keras semata. Setidaknya, pemicu persoalan dengan mencermati latar belakang timbulnya persoalan itu patut pula dipertimbangkan. Juga dalam pemberian sanksi. Sebab, pemberian sanksi, termasuk sanksi hukum, secara membabi buta pada akhirnya hanya akan “menyelesaikan masalah dengan masalah“. Kasus narkoba, misalnya. Penuntasan kasus narkoba yang jarang sekali menguak otak dan pelaku utama serta hanya mampu menyentuh lapisan kulit arinya, seakan-akan hanya menambah panjang daftar  (remaja) korban narkoba dengan label pengedar kelas teri, kurir, maupun pemakai belaka. Sementara aktor utama dan sutradaranya, yang (kemungkinan besar) bukan remaja, tetap melenggang santai dan aman menikmati hasil yang melimpah.
Namun, untuk mengatakan bahwa remaja selalu benar, rasanya juga terlalu terburu-buru. Sebab, harus diakui secara jujur, remaja kerapkali tidak memiliki nyali yang memadai untuk mengakui kelemahan dan kekurangannya secara ksatria. Dalih bahwa masyarakat tidak dapat memahami dirinya, kadang justru lahir dari kenyataan bahwa remaja pun mengalami kesulitan dalam memahami masyarakat. Pada saat yang sama, rasa tanggung jawab remaja terhadap diri dan masa depannya relatif masih minim.
Dengan segala kurangannya, remaja adalah aset berharga sekaligus sumber daya manusia yang potensial. Bagaimanapun juga, generasi ini adalah calon-calon pemimpin dan pelaku sejarah di masa yang akan datang. Proses pematangan menuju kedewasaan berfikir, bertindak dan bertanggung jawab akan menjadi upaya sia-sia belaka tanpa kesediaan dari generasi tua untuk memberi sedikit tempat bagi generasi penuh warna ini. Dalam mencoba membangun karakter pribadinya, rasa tanggung jawab terhadap diri dan masa depannya, Insya Allah akan mudah terpupuk subur dan terpelihara dalam kondisi yang komunikatif dan fleksibel terhadap kritik, gagasan dan saran konstruktif. Sedikit atau tidak adanya calon-calon pemimpin berkualitas yang lahir dari kawah candradimuka bernama dunia remaja ini bukan hanya akan menghambat kelangsungan kehidupan beridealisme tinggi, tetapi juga akan menjadi bukti gagalnya proses regenerasi itu sendiri, yang berarti kegagalan generasi tua dalam mempersiapkan penggantinya.

TIDUR LEBIH NYENYAK
Terkadang, saya juga tak bisa memberikan solusi, karena rumitnya persoalan atau karena kepala saya sendiri hampir mengeluarkan asap oleh problematika hidup pribadi. Tapi dengarlah jawabannya, sungguh melegakan saya: “Ndak papa, Kang. Aq wis plong bisa ngobrol.” Masya Allah.
Sungguh, saya tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran teman-teman muda saya itu. Meski terkadang cuma disuguhi air putih, toh mereka tak pernah kapok datang dan bisa bertahan berjam-jam. Pernah juga diskusi berlangsung sampai pukul setengah dua dinihari. Seringkali saya merasa sedang melaksanakan studi banding gratis untuk kemudian mengambil kesimpulan singkat: ternyata, masih ada orang lain yang menghadapi persoalan hidup yang lebih rumit dari yang saya hadapi. Dengan begitu, beratnya beban hidup saya terasa lebih ringan.
Selebihnya, saya kerapkali memperoleh inspirasi untuk menulis. Beberapa diantaranya melahirkan artikel dan cerpen, yang segera menghasilkan tambahan uang saku manakala dimuat di media massa.
Meskipun sekarang saya lebih sering menulis untuk blog Pramuka Paninggaran dan blog SD Negeri Tanggeran serta di catatan FB ini, yang tak menghasilkan keuntungan materi, kepuasan batin yang saya dapatkan manakala bisa membantu teman-teman saya, baik solusi maupun sekedar menjadi teman bicara, bisa membuat tidur saya lebih nyenyak.

&&&&&

Sebagian materi tulisan ini diambil dari artikel ”Kenakalan Remaja dan Kenakalan Orang Tua” yang telah dikirimkan ke media massa tapi sampai sekarang belum dipublikasikan.
Untuk semua teman muda (dan yang berjiwa muda) di manapun berada. Keep your spirit, brothers!

Catatan:
Di re-publish dari catatan FB

Salam Kreatif!



Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home