KOMPETISI SEHAT: MENANG PUAS, KALAH IKHLAS

Apa yang paling menarik dari sebuah kompetisi? Hadiah, adrenalin yang terpacu, prestasi, prestise, semuanya, atau tidak semuanya? Beragam jawaban tentu akan diperoleh manakala pertanyaan itu diajukan. Tentu, dengan argumen dan sudut pandang masing-masing. Karena terkait dengan pendapat, maka tentu saja persoalan utama bukanlah benar salah. Termasuk tulisan pendek ini.

Minggu, 16 Oktober silam, bertempat di komplek Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan, digelar hajat besar: Lomba Mewarnai Gambar tingkat PAUD/TK/RA se-Kecamatan Paninggaran. Lomba yang didukung oleh produsen obat anak-anak itu membukukan jumlah peserta 410 peserta, sebuah angka yang cukup tinggi untuk ukuran kecamatan di kawasan Selatan pegunungan Kabupaten Pekalongan, melampaui jumlah peserta pada lomba sejenis dalam Semarak Tahun Baru Hijriyah 1432 H Tahun 2010. Dari 29 PAUD, 13 RA, dan 7 TK, tercatat 14 PAUD dan 6 RA yang absen dalam lomba yang diselenggarakan oleh panitia bersama Himpaudi, KKG TK Gugus Wijaya Kusuma, dan KKG RA Kelompok 8 Kecamatan Paninggaran tersebut.


Kali pertama bersentuhan dengan sponsor, terlihat rekan-rekan panitia agak canggung. Tak mau bertaruh dengan persiapan seadanya, saya pun melibatkan diri di dalamnya. Saya turunkan dua tim sekaligus: Dewan Kerja Ranting Gerakan Pramuka Paninggaran dan Jama’ah Al Hidayah Paninggaran. Kebetulan bendera kedua tim itulah yang sering berkibar dalam kegiatan-kegiatan bersponsor di wilayah kecamatan.

Target awal 300 peserta sempat membuat panitia gentar. Biaya pendaftaran 20 ribu bukanlah angka kecil untuk ukuran wilayah saya. Meski akan mendapatkan satu botol obat cacing, satu botol obat penurun panas, dan sebuah kaos cantik, sampai beberapa hari menjelang hari H, jumlah peserta belum bertambah secara signifikan. Kebetulan istri saya menjadi sekretaris panitia sehingga hampir setiap denyut pergerakan lomba saya ketahui detilnya.

Seraya merapatkan barisan panitia, hal-hal yang kemudian bisa saya lakukan adalah memberikan motivasi, termasuk menyempatkan hadir dalam rapat panitia untuk sekedar menyampaikan konsep jangka panjang yang saya buat hampir untuk semua kegiatan dimana saya terlibat di dalamnya. Artinya, saya sering melihat prospek ke depan dari sebuah acara dan bukan hanya menakar peluang acara di hari itu. Saya jelaskan peluang-peluang yang nantinya bisa dicapai oleh ketiga kelompok kerja guru pascalomba tersebut, yang sempat miskomunikasi agak lama. Misalnya senam massal dengan mengenakan kaos tersebut beberapa bulan mendatang, kerjasama peningkatan kualitas dan kompetensi guru dengan KKG PAI Kecamatan dimana saya menjabat sekretaris, pelatihan TIK, dan sejenisnya

Alhamdulillah, semua unsur panitia terlihat semakin solid seiring hari H yang makin dekat. Dan…….kerja keras itu pun terbayar lunas di hari Minggu itu. Sejak pagi, gelombang peserta nyaris tiada henti membanjiri lokasi lomba. Target peserta terlampaui, dan semakin melesat jauh. Tenda yang disiapkan di halaman Kantor Kecamatan pun tak mampu menampung peserta yang masih saja datang setelah lomba dimulai. Harus diakui, panitia tak sigap mengantisipasi ledakan jumlah peserta sehingga banyak peserta yang akhirnya harus mengikuti lomba di bawah terik matahari. Tetapi, tanpa membela diri, semuanya sungguh di luar dugaan sehingga meskipun telah diduga ada peserta yang mendaftar di hari H, tetap saja jumlahnya di luar prediksi. Efek lainnya, dropping kaos dari sponsor untuk peserta terpaksa menunggu realisasi pesanan beberapa minggu ke depan sehingga belum semua peserta mengenakan kaos seragam di hari lomba.





Lepas dari hal tersebut, gelora kompetisi sungguh sangat terasa. Berada tepat di tengah peserta berusia dini, dengan segala teriakan, hingar bingar, dan tangis bocah-bocah mungil, kembali saya menemukan semangat yang seakan hilang beberapa lama. Ya, semangat kompetisi itu terasa sangat sangat dekat.

Bertugas mengatur waktu lomba dan kemudian mengabadikan gambar, mata saya menangkap momen-momen yang tak biasa. Semangat ibu guru dalam mengawal anak didiknya yang tak kebagian tempat layak sempat membuat mata saya memerah. Datang dari pelosok Barat Paninggaran, melewati aneka medan perjalanan yang jauh dari nyaman dengan mobil angkutan pedesaan belasan kilometer, dengan biaya tambahan yang tidak sedikit, dan akhirnya terpaksa mengikuti lomba di luar tenda di bawah sengatan matahari, lihatlah kobaran semangat itu.



Lelehan keringat yang membalur di muka dan sekujur tubuh-tubuh mungil itu sungguh membuat saya terpaku. Dan ingatan saya mengelana. Jauh. Dan hinggap pada rekaman di otak saya atas beberapa lomba yang saya lihat, saya ikuti, maupun saya dengar. Lomba yang menjadi buah bibir bukan karena gelora kompetisi sehat yang begitu terasa melainkan karena catatan kelam sebuah pengingkaran atas nilai-nilai sportifitas dan objektivitas. Lomba yang dikenang bukan karena proses dan hasilnya telah melewati tahap-tahap transparan dan elok dinikmati. Lomba yang hanya menyisakan prasangka dan praduga.

Lelehan keringat yang membalur di muka dan sekujur tubuh-tubuh mungil itu sungguh membuat saya terpaku. Terpaku sekaligus malu karena sebagian diantaranya terjadi di masa lalu kala saya berada di dalamnya meski dalam posisi tak berdaya. Selebihnya, pengaturan hasil lomba, pemalsuan identitas dan usia peserta, dan aneka skenario kasat mata kerapkali menjadi menu yang memekakkan telinga.

Pada sebuah kompetisi beberapa waktu lalu, saya membuatkan sebuah yel-yel untuk anak didik saya, yang saya gubah dari lagu daerah saya:
………………………
Brang dumbrang dumbrang
SDN Tanggeran datang
Datang tuk berjuang tak peduli kalah menang
Menang kami puas kalau kalah kami ikhlas
Ikhlas hati tenang ikut lomba dengan senang

………………………
Saya meyakini bahwa tujuan akhir kompetisi apapun di dunia pendidikan bukanlah kalah menang. Apalagi kala anak-anak yang dititipkan oleh orang tua mereka di sekolah untuk kita didik menjadi pesertanya. Kalaupun piala dan selembar piagam juara teramat berharga, dan mengalahkan nilai apapun, saya meyakini, harganya amat pantas bila diraih dengan cara-cara terhormat dan beradab. Dan bukan mengingkari norma-norma kejujuran, sportifitas, dan aneka norma mulia lainnya, yang kita doktrinkan sampai mulut berbusa di ruang-ruang kelas.

Bila kompetisi telah benar-benar dilaksanakan sesuai namanya, sungguh, kemenangan tak ‘kan membuat lupa diri dan tinggi hati sebagaimana kekalahan yang semestinya bukan kemalangan yang patut untuk diratapi. Karena ia lebih menyerupai sebuah konsekuensi logis dari proses terhormat sehingga tidak menempatkan dua pecundang sekaligus: menang dengan menginjak orang lain dan kalah karena belum berkesempatan melakukannya.

Tulisan ini didedikasikan untuk bocah-bocah mungil yang bermandi keringat di bawah sengatan terik matahari pada lomba tersebut. Teruslah bersemangat, Nak…. Teruslah pupuk semangat berkompetisi sehat. Jangan hiraukan kerisauan yang tertoreh dalam tulisan ini karena diantara secuil ketidakpatutan itu, masih banyak pendidik yang tetap kukuh memegang teguh norma-norma mulia yang mereka ajarkan di ruang-ruang kelas, seperti yang telah ditunjukkan oleh guru-guru PAUD/TK/RA di Hari Minggu itu.

Tak lupa pula untuk si kecil Wafda, yang kini mulai mengenal dunia baru di sekolah dasar.

Juga untuk anak-anak Indonesia di sudut bumi Allah SWT yang mana saja.
……………………….
Meliuklah dengan suka cita
Dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah
Yang melesat laksana kilat
Sebagaimana dikasihi-Nya
Busur yang mantap

……………………….
(Kahlil Gibran: Anakmu bukan Anakmu)

Paninggaran, Dinihari 20 Oktober 2011

Artikel Terkait



  • Digg
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima kasih telah berkenan berkunjung dan meninggalkan jejak komentar

    Next previous home